Pages

Hanjeli dan Kopi, Komoditas Alami Tingkatkan Kesejahteraan Petani

MENYEBUT SUMEDANG, sebagian besar kita mungkin segera membayangkan tahu lembut yang gurih setelah digoreng dan dimakan. Sebuah produsen tahu susu bakso yang cukup kondang di Jogja pun mengaku belajar soal pembuatan tahu yang bagus dari pembuat tahu di Sumedang. Namun mungkin tak banyak yang tahu bahwa kota asal ubi madu Cilembu ini juga punya potensi lokal yang bernilai tinggi yakni hanjeli (Coix lacryma-jobi).

Namanya boleh jadi masih terdengar asing di telinga kita karena tanaman ini belum banya dikembangkan sebagai komoditas lokal yang bisa dijual. Saat disebutkan, hanjeli malah mungkin mengingatkan pada salah satu protagonis dalam film India Kuch Kuch Kota Hai yang menuai sukses besar belasan tahun silam. Itu dulu, sebelum hanjeli diketahui punya potensi profit. Kini di Kecamatan Wado, Sumedang, hanjeli mulai diburu orang karena menjanjikan keuntungan.


Pengganti beras yang naik kelas

Adalah Koperasi Warga Tani (KWT) Pantastik di Desa Sukajadi Kabupaten Sumedang yang mengajak para petani setempat untuk mau bertani dan mengolah hasil tanaman hanjeli atau jelai atau enjelai. Hanjeli diketahui memiliki kandungan karbohidrat sebesar 76,4%, sedangkan beras sebesar 87.7%. Fakta ini menegaskan bahwa hanjeli bisa dimanfaatkan sebagai pengganti bahan pangan pokok seperti beras yang selama ini kita andalkan.

Indonesia sebenarnya kaya dengan sumber karbohidrat yang mungkin tak dimiliki negara lain. Sebut saja sagu, ganyong, gembili, sukun, porang, hingga jelai atau hanjeli. Selain memetik banyak khasiat antara lain mengontrol kadar gula, menetralkan radikal bebas, mempercepat proses penyembuhan luka, dan menurunkan berat badan, dengan mengonsumsi jelai berarti turut menjaga keragaman bahan pangan lokal kita. 

Dengan tekstur kenyal dan rasa seperti kacang, jelai memang mirip gandum yang banyak mengandung nutrisi sehingga disebut-sebut mampu menurunkan kadar kolesterol serta menyehatkan jantung. Tak heran dengan potensi manfaat sebanyak itu, sejak 2019 Dompet Dhuafa menjalin kerja sama dengan KWT Pantastik Desa Sukajadi dengan program bertajuk “Program Pengembangan Usaha Tanaman Pangan Lokal Hanjeli” di Kecamatan Wado, Kabupaten Sumedang.

Pengolahan hanjeli atau jelai menjadi aneka produk siap santap yang bergizi.

Para petani mengolah hanjeli atau jali-jali menjadi beragam produk seperti nasi (pengganti beras), tepung, opak, kerupuk, teng-teng, rengginang, sereal, brownies, dan aneka cookies atau kue basah lainnya. Singkat kata, potensi ekonomi jelai sangat menjanjikan jika digarap dengan serius untuk dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pemberdayaan lewat zakat

Bisa dibilang hanjeli adalah pengganti beras yang sedang naik kelas, karena mudah ditanam dengan potensi yang sangat menjanjikan. Pengembangan hanjeli atau jelai di Wado Sumedang adalah wujud nyata betapa dana zakat bisa dimanfaatkan untuk memberdayakan masyarakat. Dompet Dhuafa bukan hanya menyalurkan dana zakat, tetapi juga menyediakan pendampingan bagi KWT Pantastik, mulai dari memfasilitasi pelatihan olahan hanjeli, proses produksi, distribusi hingga pemasaran.

Pohon jelai (kiri) dan olahan jelai berbentuk bubur siap santap (kiri) [Foto: dompetdhuafa.org]

Biji jelai lebih kecil dibanding bulir beras, akan tetapi saat diolah rasanya menyerupai nasi. Jelai atau hanjeli lebih dahulu dikenal pada masyarakat Dayak yang mengolahnya menjadi nasi jelai, bubur, dan kue. Dengan dukungan budidaya, produksi, dan pemasaran yang memadai, kita optimistis potensi lokal ini mampu menyejahterakan petani.

Salah satunya Ibu Jojoh, petani binaan KWT Pantastik, yang berharap bisa meraup tambahan penghasilan sebagai berkal berangkat ke Tanah Suci. Melihat obsesi Bu Jojoh, kita bisa menyimpulkan betapa hanjeli membawa harapan baru bagi petani yang mungkin selama ini jauh dari kata sejahtera. Jelai atau hanjeli menjadi bibit kemakmuran yang bisa mereka panen kelak.

Bu Jojoh bermimpi bisa pergi haji berkat panen jelai atau hanjeli.

Bergeliatnya pasar hanjeli atau jelai atau jali-jali di Sumedang boleh jadi fenomena gunung es yang hanya menunjukkan bagian kecil saja. Para ahli bahkan menyebut Nusantara sebagai kawasan mega diversity karena Indonesia memiliki potensi lokal yang sangat kaya dan berlimpah sehingga tugas kita mengolah dan mengembangkannya secara produktif. Sentuhan zakat di Wado Sumedang terbukti mampu menyulap potensi lokal menjadi bisnis agroindustri yang mendatangkan keuntungan finansial demi mewujudkan kesejahteraan para mustahik.

Tukang angkut batu jadi petani kopi

Potensi lokal yang tak kalah fenomenal adalah kopi. Ya, siapa yang tak kenal biji ajaib ini. Kita tentu tak menampik adanya fakta bahwa sebuah ritel kopi raksa menguasai pangsa pasar yang besar di seluruh dunia. Kedai dan warung kopi terus bermunculan di berbagai sudut kota di Indonesia. Kopi tubruk atau kopi susu, sama-sama menjanjikan keuntungan yang nyata. Apalagi fenomena kehidupan serbadigital saat ini mendorong orang bekerja mobile di kafe-kafe yang kian membuat kopi menemukan momentum menjadi industri yang gurih ditekuni.

Di antara pelaku usaha itu, ada seorang petani bernama Samsinar. Sehari-hari ia bekerja sebagai pengangkut batu dan kayu bakar sementara sang suami berprofesi sebagai pedagang ayam. Demi memperbaiki kondisi ekonomi, pada tahun 2014 mereka pun memutuskan menjadi petani kopi. Langkah mereka rupanya tak mulus begitu saja. Mereka harus rela dicemooh oleh tetangga dan warga sekitar lantaran dianggap terlalu nekat membuka lahan seluas seperempat hektar untuk ditanami kopi.

"Hidup saja masih seperti itu (susah) tapi berani buka ladang kopi seluas itu. Pasti tidak akan sanggup." 

Namun Samsinar dan keluarga menanggapinya dengan berdoa agar usahanya berhasil sehingga akan ditiru oleh orang-orang di sekitar. Ia setulusnya berharap agar warga setempat yang hidupnya dulu susah menjadi sejahtera berkat tanaman kopi yang akan mereka tanam.  

Begitulah, ia dan suaminya terus giat menggarap lahan dan merawat kopi mereka di Nagari Sirukam, Kabupaten Solok, Sumatera Barat yang memang memiliki menyimpan potensi alam berlimpah. Salah satunya kopi Arabica Solok yang ternyata mampu menjadi komoditas unggulan dengan peminat yang selalu mengincarnya. Ia dan suami bertekad untuk menangkap peluang itu dengan terus mengembangkan usaha meskipun belum banyak masyarakat sekitar akan potensi tersebut.

Gayung pun bersambut ketika tahun 2019 Dompet Dhuafa dengan dukungan penuh dari para donatur menggulirkan program pemberdayaan untuk Kelompok Tani Sirubuih Indah Nan Jaya yang beranggotakan 25 orang. Samsinar dan suaminya beruntung menjadi salah satu penerima manfaat program tersebut. Fasilitas yang diberikan mulai dari penyediaan bibit kopi hingga tempat pengolahan pascapanen. Para petani yang tergabung juga mendapat pendampingan, pembinaan, pemasaran, hingga pengolahan limbah menjadi pupuk kompos.

30 ton kopi per bulan untuk dieskpor

Buah kerja keras mereka pun terbayar dengan kegembiraan luar biasa. Lahan yaang dikelola Samsinar kini mencapai 2,5 hektar yang semula hanya 0,25 hektar. Dengan total 2.500 batang kopi, setiap 15 hari mereka mampu memanen rata-rata 200-300 kg. Untuk pemasaran, mereka tak perlu risau sebab Pasar Koperasi Solok Radjo bisa menampung sekitar 30 ton per bulan untuk diekspor ke sejumlah negara asing seperti Jepang, Amerika, dan Thailand.

Dari Samsinar dan Bu Jojoh kita belajar tentang arti impian dan keuletan. Setiap pilihan mengandung pilihan, termasuk dicemooh orang yang belum bisa membaca peluang. Kisah mereka juga menunjukkan pentingnya optimisme, bahwa dana zakat yang terkumpul bisa dikelola dan didistribusikan untuk memberdayakan masyarakat. 

Zakat bukan melulu menjadi dana yang habis sekali pakai, tetapi menjadi modal produktif untuk membantu program pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Sebagaimana telah terbukti di Wado Sumedang dan Nagari Sirukam, zakat bisa mendorong peningkatan ekonomi khazanah lokal menjadi produk yang menguntungkan sehingga kebahagiaan bisa menular lewat manfaat luas baik bagi muzakki maupun mustahik.

Bank syariah membangun langkah

Dengan dukungan sektor keuangan seperti Bank Syariah, maka usaha-usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) akan mampu Tumbuh Seimbang Berkelanjutan dengan kinerja yang memuaskan karena dimonitor berbagai stakeholder yang ingin Indonesia mengalami kemajuan.

Tumbuh harus menjadi nilai yang diutamakan agar usaha bergerak dari kecil menuju progres yang diharapkan. Keseimbangan perlu diwujudkan lewat kolaborasi yang membuat usaha cepat melesat dengan mengedepankan sisi keberlanjutan baik dari segi profit maupun kepedulian bagi majunya produk-produk kerakyatan. 

Nah, sobat doers, sekarang kalau mendengar lagu "Si Jali-jali" khas Betawi, jangan cuma ingat kerak telor ya. Jangan lupakan jelai atau hanjeli yang kaya manfaat dan potensi ekonomi sebagaimana disebutkan dalam lagu bahwa jali-jali memang enak sekali, bisa bikin senang hati. Apalagi ditambah secangkir kopi, aduhai sedap sekali.  

actioner

101 komentar:

  1. Saat pertama kali baca judulnya, saya mah nangkapnya hanjeli kopi. Saya pikir ini mungkin jenis kopi baru. Jadi, saya pingin tahu bagaimana maksudnya. Pas baca isinya, kok hanjeli mengandung karbohidrat. Sama sekali nggak ada kopinya.

    Baru ngeh pas baca komoditas kedua. Kopi. Lha ternyata hanjeli dan kopi tho. MashaAllah. Pentingnya baca sebuah informasi sampai akhir ya begini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mungkin Mbak Yuni butuh ngopi dulu biar fokus, hehe. Jangan lupa didahului bubur hanjeli. :)

      Hapus
  2. Saya baru tau kalau hanjeli bisa diolah dan dijadikan pengganti beras.
    Program dari Dompet Dhuafa ini memang bagus sekali, bisa mendorong petani lebih sejahtera.
    Eh iya, saya pernah berkunjung ke Subang, tempat para petani nanas dan buah naga yang berada di bawah binaan Dompet Dhuafa. Membantu menyejahterakan masyarakat di sana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Dompet Dhuafa memang punya banyak program untuk memberdayakan masyarakat, Mbak. Salah satunya budidaya hanjeli atau jali-jali di Sumedang atau buah-buahan di Subang. Semoga zakat terus bermanfaat untuk mendenyutkan aktivitas positif masyarakat di seluruh pelosok negeri.

      Hapus
  3. Makin bangga dgn pemberdayaan yg dilakukan Dompet Dhuafa
    Bener2 tepat sasaran, ya.
    donatur dan korporasi pastinya kian percaya dgn kiprah DD yg amanah banget

    BalasHapus
  4. Wah dahsyat banget 30 ton kopi setiap bulan di eskpor, keren banget sangat membantu perekonomian petani dan sejahterakan juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo bantu sebarkan semangat berzakat untuk memberdayakan masyarakat dan mengurangi kemiskinan, Mas

      Hapus
  5. namanya unik
    saya pikir tadi itu nama lucu lucuan
    tapi memang nama yg sebenarnya
    mirip gandumnya
    jadi pengin nyoba hanjeli ini
    sepertinya bisa diolah menjadi berbagai aneka makanan yag enak ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Memang masih satu famili, Kak, hanjeli dan gandum yaitu Poaceae. Jadi waktu diolah jadi makanan pun mirip rasanya, dengan khasiat yang tak jauh berbeda. Yuk cobain jali-jali!

      Hapus
  6. Ya allah aku seumur umur baru tahu tentang hanjeli ini. Jadi penasaran sama rasanya. Menarik banget kayaknya anak2 bakal suka nih makan karbohidrat jelai yang kenyal itu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku pun belum lama tahunya, Mbak. Coba aja bikin bubur atau nasi dari hanjeli, bisa dibeli di marketplace kok. Tapi cari hanjeli atau jali-jali lokal yya, karena suka disamain dengan barley impor. Walau satu family, tapi beda jenis.

      Hapus
  7. Baru tau hanjemo ka dsn aku selalu suka dgn program dompet dhuafa. Dukung selalu ❤️

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hanjeli, Kak, namanya, bukan hanjemo. Kena autoteks ya di hape? Hehe...Program DD memang bagus, yuk bantu semampunya, minimal dengan menyebarkan capaian positif seperti pembinaan petani hanjeli dan kopi ini.

      Hapus
  8. Tadinya saya kira jelai itu sorgum. Atau lebih tepatnya makanan yang pernah saya makan saat kecil itu sorgum... ternyata jelai.
    Postingan ini membawa saya berkelana ke masa lalu, puluhan tahun lalu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan sorgum, Mbak. Namun memang sorgum berada di urutan kelima sebagai makanan pokok dunia setelah padi, gandum, jagung, dan jelai. Jadi jali-jali ini juga potensial digarap sebagai pengganti beras agar tidak perlu impor.

      Hapus
  9. Saya baru tahu kopi Arabica Solok, Mas. Kuper sekali saya ternyataa udah jadi komoditas ekspor ya? Dan salut dengan Dompet Dhuafa yang menyalurkan zakat umat untuk meningkatkan hidup petani dengan cara seperti ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kopi Solok lumayan terkenal kok, Mbak Alfa. Yuk cobain, bisa beli di marketplace sebagai dukungan atas ekonomi lokal. Saatnya zakat berdayakan umat, memajukan ekonomi bangsa dengan kesadaran beribadah.

      Hapus
  10. Sumedang banyak juga ya keunggulannya, selain komoditas tahu Sumedang-nya. Salah satunya hanjeli. Sepintas mirip hanjeli dan rahul, hehehe...

    Semoga dengan ada zakat ini, bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di berbagai daerah, sehingga mampu meningkatkan taraf hidup masyarakatnya juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Kang. Selain tahu dan hanjeli, Sumedang sebenarnya juga punya kopi. Saya yakin setiap daerah punya potensi yang bisa digarap menjadi keuntungan ekonomi. Dibantu dana zakat, kemakmuran bisa meningkat.

      Hapus
  11. Wiwin | pratiwanggini.net5 Juni 2021 pukul 21.53

    Kalau baca Sumedang, ingatan langsung meluncur pada tahu. Ternyata oh ternyata, Sumedang punya produk kopi yang diekspor.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Selain tahu dan kopi, Sumedang juga punya hanjeli alias jali-jali atau jelai yang kaya manfaat dan menguntungkan jika diolah, Kak.

      Hapus
  12. Ternyata karbohidrat hanjeli lebih rendah daripada beras yah. Cuma saya belum tahu apakah cara masaknya bisa sama dengan beras ya? Tahunya sih direbus saja dengan gula merah. Sering untuk takjil buka puasa. Bagus lah, kalau kita perhatian dengan keragaman sumber pangan produksi sendiri. Jadi tidak tergantung pada terigu, yg gandumnya harus import.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masaknya sama saja dengan beras, Mbak. Hanya saja direndam dulu agak lama karena memang cenderung keras agar lembek sedikit. Betul, jangan selalu mengandalkan gandum yang harus kita impor. Hanjeli atau jelai atau jali-jali masih satu family dengan gandum, jadi bisa kita konsumsi dengan manfaat yang sama bagus.

      Hapus
  13. Beneran loh pikiran saya langsung ke anjeli di film bollywood. Wkwkwk.
    Saya juga baru tahu kalau ternyata sumedang penghasil hanjeli. Jadi penasaran deh gimana rasanya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ketahuan nih penggemar Rahul, hehe. Ayo beli di marketplace banyak kok yang jual jelai atau hanjeli lokal, Mbak. Biar enggak penasaran lagi, sekalian bantu petani lokal.

      Hapus
  14. ya ampun Om Rud, jadi ini cikal bakalnya ya.
    yaa baru ngerti, sering denger lagu ini dia si jali-jali. Ternyata hanjeli.
    Jadi pengen coba juga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, lagu itu menggambarkan betapa orang Betawi sebenarnya sudah akrab dengan tanaman kaya manfaat bernama hanjeli atau yang mereka sebut dengaan jali-jali.

      Hapus
  15. Kalau ad pembinaan desa kayak gini gimana gak maju pertanian, keren deh. Syg sekali di desaku gk ad kyk gni pdhl potensi petani besar

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setiap desa mesti punya potensi lokal yang bisa dikembangkan, Kak. Mungkin berupa kekayaan budaya atau khazanah sosial yang bisa dipromosikan, tak harus produk barang seperti hanjeli di Sumedang.

      Hapus
  16. hanjelinya rahul ya wkwk bisa aja Om Rudi ini kalo nyambungin.
    Keren sumedang ini penghasil apa aja ada ya, suka tahunya sering lewat di sini dan aku suka beli. Dompet Dhuafa dalam membantu ini memang tepat sasaran kok

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Sumedang ternyata kaya loh; selain ubi Cilembu dan tahu, kota ini punya hanjelai atau jali-jali, salak, dan sale pisang. Ada juga kopi yang ga kalah nikmat. Yuk promosikan potensia daerahmu, Kak!

      Hapus
  17. Hanjeli, awalnya ku bingung hanjeli apaan ya, ternyta oh ternyata.
    Semoga pengelolaan hanjeli ini yg tdak di semua tempat ada semakin meningkat ya tiap tahunnya. Karena eman sekali kalau sampai minat pada hanjeli ini menurun.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Kak. Kalau mau bantu petani lokal, kita bisa membeli produk hanjeli atau jali-jali lokal di lokapasar (marketplace). Harganya terjangkau kok, tapi manfaatnya sungguh banyak.

      Hapus
  18. dulu di tempat saya hanjeli ini banyak kak, terus kami juga suka membuatnya jadi bubur enak banget dikasih gula gitu, jadi pengen deh, semoga setelah ini kehidupan petani makin lebih baik dna terangkat ya kak

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku malah belum pernah melihat langsung atau mencicipinya, Kak. Atau mungkin pernah tapi lupa pas kecil dulu. Kuaminkan juga doa untuk petani. :)

      Hapus
  19. Setujuu bangett. Sekarang juga ada kan yaa memang zakat produktif, yang memang dialokasikan untuk usaha kreatif seperti hanjeli ini. Jujur saya belum pernah nyoba hihi, jadi penasaran.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dukung zakat, dukung ekonomi rakyat. Agar pembangunan terus berjalan demi mencapai kemajuan. Yuk beli hanjeli atau jali-jali di lokapasar (marketplace), Kak.

      Hapus
  20. Aku perhatikan butiran hanjeli ini kalau di tempat kami namanya jali jali.
    Tapi sekarang sudah jarang dibudidayakan. Dulunya sering jadi campuran bubur.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul sekali, Kak. Hanjeli adalah nama lain jali-jali, juga disebut jelai. Semoga lewat tulisan sederhana ini jali-jali kembali dilirik sebagai makanan pokok yang tak kalah sehat dan lezat dibanding nasi atau gandum.

      Hapus
  21. Wahh menarik banget nih, mas aku boleh gak sih di japri kalo ada nama latin hanjeli ini, kebetulan aku di kampus lagi banyak cari referensi makanan2 pengganti bahan pokok di Indonesia

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di tulisan sudah saya sisipkan nama ilmiahnya, Mbak: Coix lacryma-jobi. Barangkali bisa dikaji lebih dalam sebagai pilihan lain beras yang sudah mainstream.

      Hapus
  22. Baru tahu ada tanaman hanjeli, yang ternyata bisa dijadikan sebagai gantinya beras. Buliran kecilnya imut banget itu
    Hmm jadi pengen ngerasain nikmatnya hanjeli.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hanjeli masih satu family dengan barley dan gandum, tapi bulirnya lebih kecil. Namun rasanya konon lezat dan mengandung segudang manfaat.

      Hapus
  23. Wow, nambah lagi nih pengetahuan baru soal pangan di Indonesia. Menarik mas, banyak banget potensi tani yg sebenarnya bisa sekali menjadi sumber penghasilan untuk mensejahterakan masyarakat. KEREN!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yuk dukung keragaman makanan kita, Kak. Agar bisa berdikari, enggak harus impor makanan pokok seperti beras melulu.

      Hapus
  24. Demi wujudukan impian memang perlu keuletan seperti yang dilakukan Bu Samsinar dan Bu Jojoh. Jangan patah arang meski memang hambatan pasti datang. Semoga banyak lagi tokoh yang Menginspirasi kita terlebih lagi dalam bidang pangan ini ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tepat, Kak! Kalau ingin sukses dan berkembang, jangan hanya bepangku tangan. Bergeraklah meskipun dihadapkan pada cemoohan. Semangat terus untuk belajar dan berjejaring!

      Hapus
  25. Aku baru tau ada tanaman namanya hanjeli malah. jadi hanjeli ini termasuk karbohidrat juga ya kalau bisa dijadikan sebagai pengganti bahan pangan pokok.
    Dompet Dhuafa dikenal sebagai lembaga pemebrdaya masyarakat juga ya dengan menyediakan lahan dan pendampingan dalam pertanian, perkebunan & peternakan juga.
    Rangginang hanjelinya lemparin ke sini kak, atau kopinya juga boleh :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Baru tahu ya? Segera beli, Mak, terus masak deh buat keluarga. Bisa buat nasi atau kue lainnya karena ada bentuk tepung juga yang dijual. Rengginang juga siap dibeli, plus kopi Sumedang.

      Hapus
  26. kalau hanjeli sih belum pernah denger, tapi begitu baca ternyata sama dengan jelai atau jali. Sudah pernah denger sebelunya walaupun belum pernah melihat langsung, ternyata sumber karbohidrat selain nasi banyak juga ya macamnya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak. Pernah dengar tapi belum pernah merasakan nikmatnya? Coba beli hehe....

      Hapus
  27. Haha iya baca kata hanjeli pikiran say langsung melayang ke India eh tepatnya film india yang diperankan oleh Kajol itu. Ternyata hanjeli ini sejenis makanan yang mengandung karbohidrat, bisa dijadikan sebagai pengganti beras gitu. Wah jadi penasaran dengan bahan makanan yang satu ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Kak. Tanaman hanjeli ini kali pertama diperkenalkan Kajol, hehe (ngaco). Yang jelas hanjeli atau jali-jali bisa dimanfaatkan sebagai pengganti beras, biar kita ga tergantung banget sama nasi.

      Hapus
  28. sebenranya tanaman apapun yang ada di kebun kalau dirawat secara serius pasti hasilnya juga bisa diharapkan ya. Contohnya kopi, di tempatku juga ada kopi tapi tampaknya tidak menjadi panenan yang favorit, mungkin karena kurang pengetahuan tentang kopi juga ya jadi hasilnya tidak maksimal...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga kopi di tempat Mbak Retno bisa bangkit kembali ya produksi dan penjualannya. Inilah perlunya dukungan pihak lain seperti Dompet Dhuafa agar petani bisa berkembang, menemukan pasar dan produksi yang berkelanjutan.

      Hapus
  29. Aku baru tahu nih aku soal hanjeli, dan ternyata potensinya besar banget ya sebagai komoditas alami. Didukung Dompet Dhuafa, semoga semakin berkembang manfaatnya.
    Juga bagi petani-petani lokal lainnya seperti Samsinar petani kopi, semoga makin sejahtera.

    BalasHapus
  30. Ya ampun jadi ingat dulu waktu usia sekolah dasar. Kebetulan SD ku dulu itu kanan kirinya persawahan dan kebon. Jadi kalau jalan ke sekolah atau pulang sekolah suka cari hanjeli sama teman-teman. Ternyata bisa diolah juga ya. Kirain cuma buat mainan aja hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Seingatku belum pernah menemukan hanjeli di daerahku, Mak. Beruntungnya di Malang ada tanaman jali-jali. Bisa diolah jadi banyak varian makanan lezat dengan segudang manfaat.

      Hapus
  31. Terus terang baru tauu ada bahan pangan namanya hanjeli, Bagus banget ini kalau terus dikenalkan sebagai potensi lokal suatu daerah. Soalnya saat ini kan hampir semua makan beras, pdhl ada sumber makanan pokok lain yang bisa dikonsumsi ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Kak. Jangan mengandalkan beras bahkan sampai harus impor smentara potensi karbohidrat lain masih tersedia cukup berlimpah seperti jagung, sagu, sorgum, dan hanjeli.

      Hapus
  32. Namanya kukira becandaan lhoh ini, Hanjeli! Ternyata salah satu sumber karbohidrat alternatif yak? Sebagai orang yang dri kecil dijejelin beras, akutu jadi penasaran nih sama si hanjeli

    BalasHapus
    Balasan
    1. Serius Kak hanjeli atau jali-jali itu ada. Kalau enggak percaya, coba aja masukkan kata kunci jali-jali atau jelai lokal di loka pasar seperti Tokopedia, tar ketemu deh. Nah, bisa dibeli biar enggak penasaran lagi, hehe.

      Hapus
  33. Baru pertama kali dengar jenis komoditas namanya Hanjeli. Ternyata banyak ya alternatif karbohidrat di negara kita. Rasanya kek gimana ya.. jadi penasaran. Kok enak disajikan sama kopi.. duh makin penasaran.. tanggungjawab lo mas Rudi.. wkwk.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tanggung jawab saya cuma menuliskan kabar gembira ini, nah selanjutnya Mbak Marita harus membelinya sendiri di lokapasar (marketplace) biar tahu rasa hanjeli seperti apa. :)

      Hapus
  34. Serius saya baru tahu nama Hanjeli ini, sepintas bulir-bulirnya mirip sorgum ya Mas.

    Semoga dengan budidaya hanjeli ini, kesejahteraan petani semakin membaik dan alternatif sumber makanan pokok semakin variatif.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, sepintas memang mirip sorgum. Keduanya bisa jadi alternatif karbohidrat di Indonesia. Perlu dikembangkan dan mendapat dukungan regulator agar pasarnya terbuka dan konsumsinya meluas. Dengan begitu, kita mengurangi ketergantungan pada beras yang sampai harus diimpor.

      Hapus
  35. Hmm ternyata Hanjeli itu ada juga di Sumedang, bukan hanya tahu dengan cita rasanya enak. Ditambah lagi ada kopi dari Solok, komoditi yang tidak pernah absen ada di rumah meskipun dari daerah lain.
    Ah, hanjeli mau coba aku. Namanya kek ingetin aku sama India (padahal itu Anjali) haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo cobain hanjeli sambil nonton kisah cinta Anjali, Mbak Amma. Minumnya kopi pahit khas Solok, wow!

      Hapus
  36. Indonesia prospektif banget dr segi agraria maka tepat sekali langkah Samsinar bertanj kopi ini ya Mas. Jadi tahu apa itu Hanjeli mirip² nama woman leading di Koch² Hota Hae ya,, Anjeli. Bisa dijadikan pengganti beras pula si Hanjeli ini, noted, tfs Mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Kak Mia. Banyak kekayaan lokal yang bisa diolah untuk menciptakan kekayaan bagi penduduk setempat. Seperti hanjeli yang bisa dimakan sambil nonton Kajol berakting jadi Anjali, hehe.

      Hapus
  37. Hanjeli ini tanaman masa kecilku Mas, aku tahunya itu Jali karena bijinya itu dulu banyak digunakan sebagai mainan. Nggak tahu kalo ternyata Jali ini bahan makanan yang bisa jadi pengganti beras.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ternyata bernilai ekonomi tinggi, Mas. Bisa jadi ganti beras atau gandum yang selama ini harus diimpor.

      Hapus
  38. Oh ternyata hanjeli itu semacam beras gitu yaa, salah satu sumber karbohidrat juga. Bisa diolah menjadi berbagai macam olahan yang gak kalah enak juga. Bisa jadi makanan kemasan kering juga malah. Cocok banget sih ini jadi pengganti beras

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Kak. Bisa dimanfaatkan sebagai pengganti beras karena kandungan karbohidratnya mirip. Namun lebih sehat dibanding nasi, keren kan?

      Hapus
  39. Aku baru denger soal hanjeli ini. Bagus juga ya. Tapi mungkin perlu disebarluaskan ke masyarakat
    Mungkin bisa menggandeng influencer ya biar orang2 mengganti nasi dgn hanjeli yg dinilai lebih sehat

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk itulah saya tuliskan sebagai blog post, Kak Rhos. Semoga warganet makin menyadari potensi Nusantara yang kaya, salah satunya sumber pangan berkarbohidrat yang tak kalah dibandingkan gandum atau barley.

      Hapus
  40. Setuju, Kak. Semoga banyak penulis buku pelajaran sekolah yang membaca blogpost ini agar hanjeli atau produk lokal lain dimasukkan sebagai bahan materi ajar. Tak perlu mengimpr beras atau gandum terus kalau stok karbohidrat masih tersedia berimpah di Tanah Air.

    BalasHapus
  41. Di tempat tinggal saya Hanjeli disebut dengan biji Kejeli. Karena ketidaktahuan masyarakat kalo biji hanjeli ini dapat dikonsumsi, banyak tanaman ini tumbuh tak terurus. Padahal dapat diolah menjadi aneka makanan yg bergizi. Wah informatif sekali nih.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah beda lagi nih namanya meskipun mirip. Sayang sekali kalau dibiarkan, Kang. Coba dimanfaatkan karena bisa menghasilkan keuntungan. Dikelola bersama biar makin produktif untuk warga setempat.

      Hapus
  42. Wah, bakal sering main ke blog ini dah.
    banyak insight dan cerita menarik nan inspiratif.
    makasii banyak Mas Rudi.
    Btw, hanjeli, ternyata potensinya besar banget ya sebagai komoditas alami.
    Didukung Dompet Dhuafa, semoga semakin berkembang manfaatnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih, Mbak Nurul. Yuk dukung komoditas lokal untuk menunjang kesejahteraan para petani dengan menembus pasar global.

      Hapus
  43. Alhamdulillah ya hanjeli bisa naik kelas. Bisa semkain diketahui masyarakat luas.

    Saya tahu hanjeli sejak anak-anak. Di kampung masa kecil hanjeli yang tumbuh di pinggiran kebun itu suka dibuat peluru pistol mainan yang terbuat dari bambu dan karet
    Jepret! Keras juga kalau ditembakkan mengenai kulit terasa perih. Walau perempuan saya emang suka main perang-perangan. Dulu tapi itu ya ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga keberadaannya yang sudah dikenal semakin dikenal dan bisa dimanfaatkan untuk memberdayakan masyarakat ya Teh, agar ekonomi meningkat.

      Hapus
  44. sebagai orang yang lahir di tanah Pasundan, saya akrab dengan hanjeli
    Tapi biasanya dirangkai seperti tasbih ya untuk main main aja

    Saya pernah baca bisa ntuk pengganti beras, tapi butuh penanganan khusus
    Indonesia memang kaya raya ya?
    Harusnya nggak usah bingung masalah pangan, karena kita punya banyak ragam pangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sangat kaya kita ini, Ambu. Semoga lewat tulisan sederhana ini semakin banyak orang di Indonesia yang sadar bahwa kita tak perlu risau kekurangan padi/beras sebab punya cadangan karbohidrat lainnya.

      Hapus
  45. Duh aku kemana aja nih ya, baru tau tentang hanjeli dari artikel ini. Kerennya hanjeli bisa diolah menjadi nasi ya dan low carbo. Wah jadi pengen nyicip deh. Semoga kesampean.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sama dengan aku kok Kak Mia, belum lama juga tahu soal hanjeli karena di Jawa Timur belum pernah menemukan tanamannya. Memang low carbo jadi lebih sehat buat jantung dan diabetes. Yuk beli di lokapasar (marketplace) ada kok.

      Hapus
  46. Seperti teman-teman lain, saya baru tau tentang hanjeli ini. BTW, hanjeli ini dipasarkan ke mana saja, Kak?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Nah, sekarang sudah tahu kan Kak soal hanjeli atau jali-jali? Untuk pemasaran kebanyakan lewat marketplace, silakan dicari dan dibeli ya Kak.

      Hapus
  47. Wah, ada yang luar biasanya ternyata di Sumedang. Saya kira hanya melulu soal tahu. Kapan-kapan pengin coba, ahh. Sepertinya sedap nih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan hanya tahu, Koh, Sumedang punya jali-jali atau hanjeli dan kopi yang nikmat. Yuk beli!

      Hapus
  48. Harapannya semoga hanjeli bisa mendunia yaa..
    Dan itu datangnya dari Indonesia.
    Ingin sekali memiliki komoditas ekspor yang potensial sehingga orang Indonesia bisa mencukupi kebutuhan pangan dirinya sendiri hingga keluar negeri.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ayo kita bantu dengan mempromosikan di medsos juga dengan membelinya, Kak.

      Hapus
  49. Kapan-kapan kalau Om Rudi ke Surabaya bisa bawain nih Hanjeli-nya
    Mau coba kok menggoda sekali itu foto buburnya
    Siapa tahu Salfa dan suami saya juga suka

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku belum coba juga kok, Mbak Amma. Pengin juga sih makan, sepertinya buburnya enak. Bisa buat pengganti nasi karena lebih sehat dan banyak manfaat buat kesehatan

      Hapus
  50. Wah mas, ternyata ada Hanjeli juga. Saya baru tahu ini dan bisa buat pengganti beras ya. kalorinya besaran mana ya sama beras? Kalau lebih rendah kan bisa buat diet. Hehehe... Thank mas, infonya menarik :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalorinya lebih rendah dibanding beras, Kak. Monggo dikonsumsi sebagai pengganti nasi. Go go jali-jali!

      Hapus
  51. banyak yang terbantu dari kopi ya, filosofinya juga keren :')

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, begitulah, Kak. Semoga rakyat makin berdaya agar bangsa berjaya.

      Hapus

Instagram