Pages

Gizi Segar dari Tanaman Liar, Harapan Baru Lawan Malanutrisi

BERITA YANG DIRILIS oleh Harian Kompas tanggal 9 Desember 2022 tak ayal akhirnya jadi konten yang viral. Sayangnya yang banyak dibagikan itu bukanlah kabar yang menggembirakan. Sungguh kenyataan yang miris ketika 68 persen atau 183,7 juta orang Indonesia dikabarkan tak mampu mengonsumsi makanan bergizi. Bukankah ironis masih banyak masyarakat yang tak bisa mengakses pangan padahal sebagai negara agraris Indonesia mestinya sanggup memproduksi hasil pertanian dalam jumlah besar sebagai jaminan ketahanan pangan?

Masih menurut media yang sama, tragedi pangan misalnya terjadi di Merauke yang digadang-gadang menjadi lumbung pangan di Indonesia timur. Faktanya berkebalikan, Merauke justru jadi salah satu kawasan paling rawan pangan di Indonesia dengan angka harapan hidup yang rendah. 

Kejadian ini salah satunya akibat peralihan gaya hidup warga setempat. Hutan semula dimanfaatkan sebagai sumber pangan lokal penduduk asli Papua. Mereka bergantung pada hasil hutan secara alami tanpa harus selalu membeli komoditas pangan lain. 

Perubahan dramatis terjadi tahun 2010 ketika sekitar 1,2 juta hektar tanah dan hutan di Kabupaten Merauke, Papua Barat, dialihkan menjadi kawasan agroindustri. Penduduk setempat diarahkan untuk mengonsumsi nasi (beras) tapi tidak disertai dengan transformasi budaya bercocok tanam padi. Walhasil, proyek pencetakan sawah baru pun berujung kegagalan.

Proyek lumbung pangan di Merauke tersebut gagal menyusul terbengkalainya sebagian besar sawah yang baru dibuat. Ketidaksesuaian lahan diperparah oleh minimnya dukungan infrastruktur dan ketersediaan petani yang memadai dengan keterampilan yang mumpuni.

Mengancam kemandirian pangan

Selain kerawanan pangan, akibat lain kebijakan pembangunan semacam ini berpotensi menghapus identitas budaya, pengetahuan, dan keterampilan masyarakat lokal tentang pangan dan kesehatan yang telah mereka jalani dan lestarikan secara turun-temurun.

Produksi sagu di Desa Masihulan, Maluku Tengah (Foto: kompas.id/Bahana Patria Gupta)

Desain lumbung pangan tersebut otomatis mengubah pola konsumsi penduduk lokal sehingga masalah gizi dan kesehatan tak bisa terhindarkan. Dari generasi ke generasi mereka telah menikmati produk hutan seperti sagu dan umbi-umbian. Namun, kini Orang asli Papua (OAP) terpaksa membeli makanan dari luar kampung, dalam hal ini berupa beras dan mi instan.

Kemandirian pangan pun jadi hal yang dipertaruhkan. Padahal kalau menilik sejarah, Presiden Soekarno pernah mengingatkan bahwa Indonesia tidak cukup mengandalkan sawah padi saja. Pesan ini disampaikan saat beliau menghadiri peletakan batu pertama Institut Pertanian Bogor pada bulan April 1952. 

Namun sayang, hingga 70 tahun berselang, ketahanan pangan rupanya belum bisa diwujudkan dari pemberdayaan pangan lokal seperti jagung, sorgum, talas, porang, gembili, dan berbagai tanaman liar yang sebenarnya produktif untuk mendukung sistem konsumsi berkelanjutan.

Berawal dari mangrove Papua

Belum optimalnya pemanfaatan sumber pangan lokal seperti inilah yang menjadi keresahan Hayu Dyah Patria, perempuan kelahiran Gresik, Jawa Timur yang punya preferensi pada pemberdayaan tanaman liar sebagai pemasok gizi yang murah. Kendati kuliah di jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, ia rupanya lebih tertarik pada hubungan antara alam, manusia, dan pangan.

Hayu Dyah Patria bersama ibu-ibu yang tergabung dalam Mantasa (Foto: womensearthalliance.org)

Minatnya yang besar pada ketiga hal tersebut mendorongnya menekuri banyak referensi guna mengungkap keterikatan satu sama lain. Saat melakukan penelitian untuk bahan penulisan skripsi, Hayu menemukan sebuah fakta menarik. Dari literatur yang ia baca, masyarakat asli di Papua yang tinggal di daerah pesisir ternyata memanfaatkan berbagai jenis mangrove sebagai bahan pangan. 

Salah satu jenis mangrove yang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat adalah Bruguiera gymnorrhiza (lindur). Warga biasa mengolah pati yang diambil dari bagian biji lindur. Temuan itu kian membuncahkan semangatnya karena kala itu ia kerap melewati beberapa daerah yang kebetulan dipenuhi oleh mangrove dalam perjalanan ke kampus setiap hari.

Selama mengenyam perkuliahan, Hayu merasa tak puas sebab ilmu yang ia pelajari cenderung terkotak-kotak, alih-alih holistik. Pada saat yang sama ia sedang gemar membaca banyak buku antropologi dan senang sekali mengkaji beragam kebudayaan dari belahan dunia yang berbeda. Lalu sesuai bidang yang ia pelajari yakni pangan dan gizi, ia pun mulai menghubung-hubungkan antara ilmu teknologi pangan dan gizi dengan ilmu antropologi. Ia lantas menghimpun literatur-literatur yang membahas persilangan ilmu antara ilmu antropologi dengan ilmu pangan dan gizi.

Ditolak karena tidak komersial 

Temuannya mengenai potensi pangan lokal sebagai sumber gizi yang bisa diperoleh dengan mudah dan murah rupanya tidak bisa diterima begitu saja saat diajukan sebagai materi skripsi. Ide itu ditolak lantaran dianggap tidak bisa dikomersialkan oleh industri pangan. Setelah bersikukuh mempertahankan alasannya, akhirnya ia diperbolehkan mengangkat tema itu walau harus mendapatkan nilai yang jelek.
 
Namun, tak ada penyesalan yang ia rasakan. Ia justru merasa puas sebab telah belajar banyak mengenai mangrove dan kaitannya dengan manusia. Pikirannya memang terbilang unik sebab ia tak tertarik menjadi lulusan yang memproduksi makanan ultraproses atau bekerja di pabrik makanan sebagaimana diharapkan oleh fakultas. 

Turun ke kampung membuat Hayu memahami problem gizi masyarakat. (Foto: womensearthalliance.org)

Setelah meraih gelar sarjana dari Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, Hayu semakin penasaran dengan keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia. Keingintahuan yang besar itu menggerakkannya untuk berkunjung ke desa-desa guna menggali lebih banyak tentang budaya pangan lokal. Interaksi langsung tersebut menguakkan masalah yang selama ini tak pernah ia ketahui, hal yang tak pernah ia dengar ketika berkuliah, yakni problem gizi di masyarakat.

Ironi negeri kaya dan masyarakat dengan malanutrisi

Hayu prihatin menangkap fenomena ini sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia adalah negeri yang sangat kaya akan keragaman hayati, bahkan disebut-sebut sebagai salah satu negara dengan mega-biodiversity di dunia. Sayangnya, malnutrisi dan kelaparan masih menjadi masalah besar di Indonesia. Ironi inilah yang kemudian mendorong Hayu untuk lebih mendalami sistem pangan di Indonesia. 

Ia menggunakan penelitian tentang tumbuhan pangan liar sebagai pintu masuk yang efektif dengan alasan bahwa sebenarnya masyarakat kita dulu memiliki hubungan yang sangat dekat dengan alam dan memanfaatkan segala yang disediakan oleh alam untuk memenuhi kebutuhan mereka, termasuk kebutuhan pangan. Ia juga terinspirasi dari kebiasaan foraging (meramban dalam bahasa Jawa, ngalasan dalam bahasa Sunda) yang sudah ada dalam masyarakat Indonesia sejak dulu.

Keragaman pangan lokal yang bergizi (Foto: kompas.id/Dionisius Reynaldo Triwibowo)

Menurut Hayu, masyarakat adat di Indonesia masih melakukan kebiasaan ini. Akan tetapi, gaya hidup alami ini perlahan-lahan terkikis lantaran pengaruh gaya hidup di era globalisasi. Hayu menegaskan bahwa yang ia lakukan adalah ikhtiar untuk menggali kembali pengetahuan-pengetahuan tradisional tentang budaya meramban dalam berbagai kebudayaan di Indonesia. 

Bersama Mantasa, lembaga yang ia dirikan sejak tahun 2009, ia berharap bisa menghidupkan gaya hidup meramban kembali sebagai strategi untuk melawan malanutrisi dan kelaparan di Indonesia. Namun sebelum ada Mantasa pun, Hayu sebenarnya telah menggali dan mengampanyekan kekayaan pangan lokal sejak tahun 2005.

Harapan berpendar dari tanaman liar  

Pengalamannya bekerja di sejumlah LSM yang bergiat pada isu pendidikan dan pertanian jelas berkontribusi pada solidnya Mantasa dan komitmennya untuk menemukan solusi pangan dari tanaman liar. Apalagi selain mempelajari teknologi pangan, Hayu juga mendalami isu gender dan mengaitkannya dengan pangan.

Hayu Dyah Patria yang selalu bersemangat dan semringah (Foto: womensearthalliance.org)

Saat ini Mantasa aktif mendampingi berbagai komunitas di berbagai daerah selain Desa Galengdowo, Jombang, Jawa Timur. Hayu juga berkegiatan di Desa Ngadas bersama masyarakat adat Tengger, Kampung Pelanjau dengan masyarakat adat Dayak Kanayatn, Desa Mukusaki (Flores), Manokwari, dan Pulau Alor.

Untuk mendukung terlaksananya kegiatan, Mantasa bekerja sama langsung dengan masyarakat lokal dan masyarakat adat, juga berkolaborasi dengan berbagai institusi nonpemerintah baik dari dalam maupun luar negeri. Hayu menyadari bahwa kolaborasi dan sinergi adalah kunci untuk menggerakkan Indonesia agar bisa bangkit bersama dari pandemi, khususnya problem malanutrisi.

Dengan niat sederhana untuk melestarikan pangan lokal sekaligus memperkuat ketahanan pangan dan melawan kekurangan gizi menggunakan cara yang masuk akal, maka tanaman liar yang digagas Hayu adalah jawaban yang cerdas. Tanaman liar ini mudah dikembangkan, tanpa harus diberikan perawatan khusus yang mahal. 

Ia meyakinkan bahwa peningkatan asupan gizi masyarakat bisa cukup dengan menengok sekeliling, di pekarangan kita sendiri—sebagaimana kebiasaan meramban nenek moyang kita terdahulu. 

Sebuat saja daun kastuba, yang punya kandungan mineral berlimpah. Tanaman bernama Latin Euphorbia pulcherrimasebagai ini juga bisa berfungsi sebagai pencahar alami dan melancarkan ASI. Masyarakat biasanya menggunakan daun kastuba sebagai pembungkus buntil.

Memanfaatkan tanaman liar sebagai sumber pangan bergizi. (Foto: womensearthalliance.org)

Lalu ada daun krokot, yang sudah kadung identik sebagai makanan jangkrik. Setelah diteliti, krokot ternyata mengandung banyak vitamin dan senyawa pendongkrak kecerdasan. 

“Krokot itu mengandung asam lemak Omega-3 yang bagus untuk jantung dan otak,” ujar Hayu dalam sebuah wawancara bersama Radio Idola Semarang. 

Untuk memakannya pun sangat praktis, bisa disayur bening atau bahkan cukup dikudap sebagai salad tanpa harus dimasak sehingga hemat energi. Asam lemak Omega-3 biasanya ditemukan pada ikan laut seperti tuna dan salmon tapi harganya cukup mahal. Maka krokot adalah pilihan bijak jika ingin membuat otak anak encer. 

Krokot layak dilirik sebab tanaman ini memang betul-betul liar; mudah didapatkan di mana saja karena bisa tumbuh di daerah yang berpasir, tanah liat, dan bahkan bisa hidup walau kekurangan air. Hebatnya lagi, krokot punya sifat adaptasi yang baik terhadap lingkungan.

Tantangan yang dihadapi Mantasa

Saat saya tanyakan apa kendala yang dihadapi selama mengelola Mantasa, Hayu menuturkan bahwa tantangan utama adalah perspektif masyarakat mengenai budaya pangan mereka sendiri yang kian menurun. Butuh upaya keras untuk mengubah pola pikir mereka yang keliru. Selama ini mereka cenderung beranggapan bahwa budaya pangan mereka terbelakang. Itulah yang mesti diubah; harus ditumbuhkan kesadaran bahwa pangan lokal yang mereka miliki ternyata sehat, lestari, dan berkualitas (dari segi gizi).

Saat Mantasa turun ke desa-desa, masyarakat lokal seketika merespons dengan perasaan aneh tentang penelitian yang diadakan lantaran pangan lokal yang mereka miliki itu dirasa jelek dan tidak bermutu. Bahkan yang miris, pangan lokal itu sering kali mereka sebut sebagai “makanan orang miskin”, sehingga penelitian mengenai hal itu akan dianggap aneh.

“Kendala lain adalah minimnya dana untuk melakukan penelitian semacam ini karena saat ini penelitian di bidang pangan banyak difokuskan pada tanaman komoditas. Sementara tumbuhan pangan liar dianggap bukan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Walau sebenarnya memiliki nilai-nilai lain yang sangat berharga, misal nilai nutrisi yang tinggi, nilai kebudayaan, nilai ekologi, dan sebagainya.”

Selain itu, PR yang tak kalah penting digarap adalah bagaimana mengoptimalkan peran perempuan yang masih belum terlihat setiap kali kita berbicara tentang pangan dan pertanian. Padahal fakta meunjukkan bahwa perempuan memiliki peran yang amat penting dalam sistem pangan kita, di seluruh rantai pangan kita. Mulai benih hingga makanan tersaji di meja makan, ada tangan perempuan di sana.

Hayu Dyah Patria, pemberdaya gizi dari tanaman liar (Foto: tempo.co)

Saya jadi teringat pada keluhan ibu pada musim tanam tahun lalu. Di desa kami, saat musim tandur tiba, terdapat kelangkaan buruh tani untuk menanam padi. Sebagaimana dipahami, tandur yakni menanam padi dengan berjalan mundur membutuhkan skill khusus dan selama ini hanya dikuasai oleh para wanita. Ini membuktikan bahwa produktivitas wanita mewarnai keseluruhan kebutuhan primer manusia, terutama dalam konteks pangan.

Itulah sebabnya Hayu dan Mantasa tak pernah lelah melakukan pendampingan bagi komunitas melalui berbagai kegiatan, terutama pemberdayaan bagi perempuan. Misalnya pendidikan nutrisi untuk perempuan desa, pengolahan bahan pangan yang sehat, eksperimen pengolahan pangan dengan memanfaatkan tumbuhan pangan liar, hingga pelatihan permakultur/pertanian regeneratif.

Catatan dan harapan

Menurut UNICEF, Indonesia masih menduduki peringkat ke-5 di dunia dalam hal jumlah anak yang mengalami malanutrisi. Mestinya hal ini tak perlu terjadi jika kita bijak memanfaatkan kekayaan pangan lokal sebagai sumber gizi yang memadai. Makanan dan nutrisi yang cukup sebagai hak dasar anak bisa terpenuhi tanpa harus selalu mengandalkan konsumsi makanan yang mahal.

Data yang tercatat di Cianjur sejak Januari hingga September 2021 perlu menjadi renungan kita bersama. Setidaknya tercatat 86 kasus gizi buruk di sana dan tiga balita di antaranya meninggal dunia akibat malanutrisi. Kepala Seksi Kesehatan Keluarga dan Gizi Dinkes Cianjur Rina Yudiantini menyebutkan bahwa meskipun ada tren penurunan, tapi kasusnya masih tinggi.

Boleh jadi, itu semua terjadi sebab kita tidak menunjukkan penghargaan sama sekali terhadap budaya pangan lokal yang selama ini ada. Akibatnya, bukan hanya kesehatan manusia yang dikorbankan, tetapi juga kelestarian lingkungan dan keberlangsungan makhluk-makhluk lainnya.

Hayu yang mengidolakan Vandana Shiva (cendekiawan dan aktivis lingkungan asal India) ini mengingatkan bahwa saat ini sistem pangan kita dibangun atas dasar monokultur. Hutan-hutan diubah menjadi sawah dan perkebunan sawit, salah satunya yang terjadi di Merauke sebagaimana saya sebutkan di awal tulisan. Masyarakat dipaksa untuk menanam padi dan makan beras (nasi) yang berdampak pada munculnya kasus malanutrisi di kalangan anak-anak dan perempuan seperti halnya di Papua. 

Perempuan yang juga mengagumi Jane Goodall ini ingin agar kita juga menyerap spirit dalam kutipan favoritnya berikut ini. Dua kutipan ini jelas menunjukkan betapa pentingnya keanekaragaman hayati dalam kelangsungan hidup kita di alam semesta, bukan semata-mata sebagai pengguna atau perekayasa, melainkan dalam konteks koeksistensi dengan makhluk lain.

“Keanekaragaman menciptakan harmoni dan harmoni menciptakan keindahan, keseimbangan, karunia, dan kedamaian di alam dan masyarakat, dalam pertanian dan kebudayaan, juga dalam sains dan politik.”
“Kamu bukanlah Atlas yang memanggul dunia di pundakmu. Sebaliknya harus diingat bahwa Planet Bumilah yang memanggulmu.”

 

- Vandana Shiva

Bagi saya, kiprah Hayu Dyah Patria bersama Mantasa bukan hanya sepenggal contoh ekofeminisme, tetapi juga bagaimana ia tampil sebagai biodiversity leader di tengah masyarakat, khususnya Jawa Timur, untuk memberi pengaruh dan menebar manfaat ketika kita bisa menyadari dan memahami betapa makanan, isu lingkungan, dan peran wanita itu saling terkait.

Inspirasi sederhana

Pantaslah jika kontribusi Hayu membuat PT Astra International Tbk menganugerahinya dengan Satu Indonesia Awards 2011 untuk bidang teknologi sebagai sosok Pemberdaya Gizi dari Tanaman Liar. Kesederhanaan dan value yang ditawarkan memang sangat menginspirasi. Mudah diaplikasikan dan besar dampaknya. 

Hayu saat diundang dalam Kick Andy (Foto: satu-indonesia.com)

Kendati sejauh ini Mantasa telah berhasil mendokumentasikan setidaknya 400 tanaman pangan liar, Hayu ingin membuat direktori berisi tumbuhan pangan liar dan pemanfaatannya di berbagai daerah. Selain itu, ia juga ingin melakukan analisis mengenai nilai gizi tumbuhan pangan liar untuk membuktikan bahwa tumbuhan-tumbuhan tersebut memiliki potensi untuk mengatasi problem malanutrisi yang masih menghantui negeri ini.

Apa yang dilakukan Hayu membuat kita tergugah dan tersadar bahwa negara sangat kaya seperti Indonesia—dengan aneka jenis tumbuhan yang bisa dimakan—tidak semestinya memiliki penduduk yang masih banyak menderita malanutrisi, apalagi kelaparan. Pengetahuan-pengetahuan tradisional yang sudah dipraktikkan oleh nenek moyang kita harus segera dikumpulkan dan didokumentasikan agar lestari dan bisa dimanfaatkan tanpa menunggu kepunahan.

Sumber bacaan:
  • Wawancara dengan narasumber
  • https://www.kompas.id/baca/investigasi/2022/12/09/pangan-lokal-solusi-gizi-seimbang 
  • https://www.kompas.id/baca/investigasi/2022/12/08/lebih-separuh-penduduk-tak-mampu-makan-bergizi
  • https://womensearthalliance.org/hayu-dyah-patria/
  • https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5808618/tiga-anak-gizi-buruk-di-cianjur-meninggal  

actioner

16 komentar:

  1. Bpk Soekarno visioner bgt ya.
    Sudah bs memprediksi ttg tantangan ketahanan pangan

    Salut bgt dgn yg punya terobosan pangan ini.
    Ciamiikkk pol

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga ketahanan pangan bisa kita wujudkan ya, Mbak. Apalagi di tengah isu krisis ekonomi saat ini, kita optimistis bisa mendayagunakan potensi pangan lokal untuk bertahan hidup di tengah masa sulit, tahun depan atau kapan pun.

      Hapus
  2. Hayu Dyah Patria bersama Mantasa ini luar biasa banget. Mencari tahu kekayaan alam Indonesia yang luar biasa dan menjadikan banyak tanaman liar sumber pangan ditemukan. Indonesia takkan kesulitan lagi mencari bahan pangan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul, Kak. Kita punya koleksi pangan yang kaya, sudah semestinya diberdayakan dengan pemanfaatan optimal biar enggak mengandalkan makanan ultraproses yang cenderung mahal sehingga berpotensi jadi kerawanan pangan.

      Hapus
  3. Ironis banget memang. Dimana Indonesia adalah negara tropis yang apa-apa bisa tumbuh subur, tapi 68% masyarakat masih kurang mengkonsumsi pangan bergizi. Ini perlu dibenahi karena sepertinya faktor SDM juga berpengaruh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga kabar ini jadi pengingat kita semua ya Mas, bahwa negara kita kaya dan bisa banget didorong untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional tanpa harus melulu impor.

      Hapus
  4. Sangat appreciate pada semua hal yg dilakukan hayu. Berharap kelak akan hadir hayu-hayu lainnya yang peduli dan saling support

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin, semoga andil yang sudah dimulai Hatu menginspirasi banyak pemuda lain ya Mbak. Masyarakat tinggal mendukung, jangan merasa kuno apalagi jelek dengan mengonsumsi pangan lokal sendiri.

      Hapus
  5. Tapi kuliahnya sih nyambung aja ma kegiatannya sekarang #dibahas hehe
    Keren banget mbaknya nih, ini tuh sejalan dengan kondisi Indonesia yang kaya akan keragaman hayati jd pantas saja kalau kita pasti bisa memanfaatkannya demi ketahanan pangan dan mengatasi masalah nutrisi. Semoga usahanya juga makin banyak yg melirik dan bantuin khususnya pemerintah jd lbh bisa memberikan efek lagi utk menghilangkan malnutrisi di negeri ini ya,

    BalasHapus
    Balasan
    1. Insyaallah kita optimistis bakal banyak pihak yang membantu, terutama swasta, biar enggak mengandalkan pemerintah melulu karena udah banyak urusannya ya Kak. Yang penting bisa dimulai dari kesadaran dari rumah masing-masing, itu yang penting.

      Hapus
  6. masyaAllah selalu takjib, salut, bangga, dan terharu kalau ada generasi penerus macam Hayu begini, soalnya diri ini juga bisa belum bisa melakukan banyak. Sukses buat Hayu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku yakin banyak Hayu lainnya di luar sana, hanya mungkin belum tereskpos saja. Semoga tulisan sederhana ini akan memicu munculnya generasi muda yang lincah, kreatif, dan optimistis seperti Hayu Diah Patria. Semangat, Nyi!

      Hapus
  7. menurut saya ini keren banget karena mampu membuat tanaman liar sebagai pangan bergizi. inspiratif banget dan pantas mendapatkan awards dari ASTRA

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, betul banget Kak. Persoalan gizi enggak semestinya masih jadi problem karena ada opsi lain yang bisa dicoba dan itu murah, bahkan nyaris nol rupiah. Tanaman liar solusinya!

      Hapus
  8. Sebagai orang yang suka meramban alias mengambil sayur dari kebun sendiri, saya setuju banget dengan artikel ini. Jadi tambah semangat pengen bikin rumah hidup yang tidak hanya ditanami sayur tapi juga ada kolam ikan dan ternak.
    Indonesia kaya, harusnya bisa seperti ini di semua tempat termasuk di Papua.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tema ini pas banget ya sama Mbak Susi yang memang menggemari kebudayaan, juga kearifan lokal. Saya dukung untuk rencana pembuatan rumah hidupnya ya Mbak, semoga dimudahkan. Sayur dan ikan tinggal ambil tanpa beli, sedapnyaaa. Kalau makin banyak rumah tangga yang punya kesadaran ini, maka akan lebih mudah kita mengatasi malanutrisi terutama di kantong-kantong yang rawan pangan.

      Hapus

Instagram