Pages

Chilling dan Healing Pulihkan Kepercayaan Diri OYPMK dan Penyandang Disabilitas

DI TENGAH NAIKNYA harga pangan dan ancaman resesi dunia, ada satu hal yang terlewat dari perhatian kita, terutama pada kondisi pascapandemi. Para penderita kusta, OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta), dan penyandang disabilitas lainnya seolah luput untuk mendapatkan perhatian dan perawatan semestinya.

Padahal data menunjukkan bahwa Indonesia masih menduduki peringkat ketiga di dunia dalam jumlah penderita kusta di bawah India dan Brazil. Sungguh fakta yang memprihatinkan. Jika dibiarkan tanpa perawatan dan pengobatan, penyakit kusta bisa berujung pada kecacatan fisik yang tentunya akan berdampak pada lemahnya kepercayaan diri dan produktivitas ekonomi.

Kusta harus menjadi perhatian bersama. (Foto: siloamhospitals.com)

Kontribusi NLR Indonesia terhadap eliminasi kusta 

Maka kehadiran NLR Indonesia sebagai organisasi nirlaba yang fokus menanggulangi kusta dan konsekuensinya layak diapresiasi. Lembaga yang didirikan tahun 2018 ini hadir dengan optimisme melalui slogan "Hingga Kita Bebas dari Kusta" dengan mengadopsi pendekatan tiga zero yang terbukti ampuh. Pendekatan itu meliputi zero transmission, zero disability, dan zero exclusion

Sejak tahun 2021 sampai sekarang NLR Indonesia telah bekerja sama dengan KBR (Kantor Berita Radio) dalam menyiarkan program berisi penyadaran mengenai kusta dan mendorong pemenuhan hak anak serta kaum muda penyandang disabilitas akibat kusta maupun disabilitas lainnya.

Dalam satu dekade terakhir, kasus baru kusta yang ditemukan di Indonesia masih konstan antara 16.000 hingga 18.000 orang. Data Kementerian Kesehatan RI menyebutkan bahwa per 24 Januari 2022 setidaknya tercatat 13.487 kasus kusta dengan 7.146 kasus penemuan kasus baru. Kita patut merenungkan temuan ini sebagai pijakan menyusun tindakan.

Itulah yang menggerakkan NLR Indonesia dengan terus berkomitmen untuk mengenyahkan kusta dari Bumi Nusantara sebab tahun 2021 masih ada enam provinsi dan 101 kabupaten/kota yang terdata belum meraih level eliminasi kusta sesuai target. Ini sinyal  bahwa kusta masih jadi kendala. Selain ketidaktahuan publik tentang gejala kusta, penemuan dan lambatnya penanganan menjadi problem di lapangan. 

Hal ini diperparah dengan stigma negatif bahwa kusta adalah penyakit kutukan sehingga penderita bisa saja merasa malu untuk mengakui dan selanjutnya memeriksakan diri agar mendapat perawatan dan pengobatan semestinya. Rendahnya kesadaran ini membuat kusta bebas ditularkan dan tak sedikit yang menyebabkan disabilitas. Belum lagi jika penderita atau OYPMK mengalami trauma yang berdampak pada menurunnya kepercayaan diri mereka.

Berkarya sesuai passion dan jangan insecure


Begitu besar dampak penyakit kusta dan kosekuensi psikologisnya, maka dibutuhkan perhatian khusus agar trauma mereka bisa dikikis. Seperti yang pernah dialami oleh Ardianysah, OYPMK yang kini menjadi wakil ketua Konsorsium Pelita (Peduli Disabilitas dan Kusta) Indonesia.

Hadir sebagai salah satu narasumber dalam Ruang Publik KBR bertajuk "Chilling-Healing bagi OYPMK, Perlukah?" yang digelar Rabu, 14 Desember 2022 secara streaming melalui Youtube, Ardianysah menuturkan pahitnya salah satu episode hidupnya akibat kusta. Setelah menjalani pengobatan di rumah sakit selama beberapa waktu, keluarga dan lingkaran terdekatnya rupanya tak bisa begitu saja menerima fakta bahwa dirinya adalah OYPMK.

Walau berat, Ardiansyah tak menyerah begitu saja. Ia mencoba mendekati keluarga dan kawan-kawan melalui karya. Ia meyakinkan mereka bahwa meskipun ia seorang yang pernah mengalami kusta, ia nyatanya bisa bermanfaat bagi lingkungan sekitar, baik sesama OYPMK maupun penyandang disabilitas lainnya.

"... (caranya dengan) meningkatkan kemampuan kita. Kita bisa berkarya sesuai passion dan kebisaan kita ini di mana sebenarnya. Kita harus kembangkan di situ dan menunjukkan kepada orang-orang yang selama ini tidak mendukung kita."

Ardiansyah, wakil ketua Konsorsium Pelita  


Intinya, jangan pernah membatasi potensi diri apalagi merasa insecure yang malah berbahaya. Abaikan saja apa kata orang sebab itu tak akan berpengaruh selagi kita percaya diri dan bisa berkontribusi kepada lingkaran terdekat.

Ardiansyah juga menceritakan betapa bangganya dia bisa memberikan andil dalam membantu sesama OYPMK atau teman difabel yang pernah dirawat di RS dan harus membayar belasan juta. Berkat perannya, biaya yang harus dibayarkan bisa dikurangi hingga 50%. Ini adalah langkah kecil yang membukakan mata keluarga dan orang-orang terdekatnya bahwa ia bisa berkontribusi.

Ragam chilling dan healing bagi OYPMK

Acara Ruang Publik yang dihelat sejak pukul 9 pagi itu diwarnai dengan interaksi menarik dalam bentuk komentar dan pertanyaan. Bahkan tak sedikit yang mengapresiasi perjuangan Ardiansyah yang mampu bangkit dari keterpurukan akibat OYPMK lalu kini bisa mengabdikan dirinya dalam Pelita.

Disinggung tentang healing (proses pemulihan) atau chilling (relaks dan tenang) bagi OYPMK, Ardiansyah menyatakan bahwa menuliskan pengalaman itu bisa melepaskan beban sehingga OYPMK menjadi lega mungkin akibat trauma masa lalu atau penerimaan negatif masa kini. Jadi healing tidak harus berupa jalan-jalan yang mengeluarkan biaya. 

Donna Swita yang menjadi narasumber kedua membenarkan pilihan itu. Perempuan yang merupakan executive director IWE (Institute of Women Empowerment) ini menambahkan bahwa journaling (mengabadikan pengalaman ala diary) bisa meredakan ketegangan. Cara lain yang juga bisa dicoba adalah meditas dan healing dance.



Namun, Donna mengingatkan bahwa teman-teman OYPMK atau penyandang disabilitas tak harus menjalankan semuanya--sesuaikan saja dengan kondisi dan kebutuhan. Yang penting konsep healing itu diperkenalkan terlebih dahulu bahwa healing atau bersantai (chilling) tidak melulu berbayar. Donna menggarisbawahi:

"Nah di dalam konsep itu ada nilai. Misalnya tidak diskriminatif, tidak menghakimi, bisa mengenal diri sendiri, melepaskan (let it go). Apa pun pilihan metodenya, basis awal yang perlu diperbaiki adalah cara berpikirnya."

Lebih lanjut Donna menuturkan bahwa pemulihan bagi OYPMK atau penyandang disabilitas meliputi lima dimensi: fisik, psikis, mental, relasional, dan spiritual. Nah, semua hal ini bisa dipenuhi dari informasi berlimpah yang tersedia di Internet. Perlu kejelian untuk memilah dan memilih man sumber yang bisa dimanfaatkan, jangan mudah termakan oleh konten yang banyak disebarkan orang--apalagi dalam lingkaran keluarga terdekat.

Melalui Ruang Publik KBR yang dipandu Rizal Wijaya kemarin, kita diingatkan bahwa ada saudara-saudara kita di Tanah air yang perlu mendapatkan perhatian. Bukan dalam bentuk belas kasihan, melainkan kerja sama dalam perlakuan yang tidak diskriminatif dan peluang yang sama sebagaimana orang pada umumnya.


Mereka juga membutuhkan jeda dari rutinitas, terutama momen healing untuk memulihkan diri dari pengalaman traumatis atau terpuruknya kepercayaan diri akibat kondisi fisik yang mengalami kelainan--baik sementara maupun permanen. Kita bisa membantu mereka dengan memproduksi konten bermanfaat dan menyebarkan pemahaman yang benar tentang OYPMK atau disabilitas yang selama ini termarginalkan.
 

Semogaa mereka yang terpinggirkan, atau selama ini perannya masih minimal, termasuk para wanita yang tergabung dalam IWE mendapatkan kesempatan yang sama untuk berkembang melalui belajar dan komunitas dengan mendayagunakan potensi dan kecakapan yang mereka miliki sehingga kepemimpinan perempuan mampu berkontribusi baik secara sosial, pendidikan, dan ekonomi bagi pembangunan bangsa.   


  

actioner

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram