Ketika mendengar kata trembesi, memori yang segera bangkit adalah pohon besar nan teduh yang menghasilkan biji-bijian untuk dimakan sebagai camilan seperti kuaci. Kenangan lain yang tak lekang dimakan waktu adalah menyesap tepian polongnya yang terasa manis saat saya masih kecil dulu. Di balik kokohnya pokok yang sering dimanfaatkan warga untuk membuat perabot rumah tangga, trembesi ternyata menjanjikan air untuk bisa terus lestari.
"Tanaman untuk mengatasi perbaikan oksigen dengan menyerap gas CO2 terbagus dan punya daya simpan air yang bagus salah satunya adalah trembesi."
Demikian ujar Samsul Arifin, pemuda asal Desa Sumberagung Kecamatan Dander Kabupaten Bojonegoro yang punya kepedulian besar pada kelestarian lingkungan, terutama terpeliharanya sumber air yang kian lama kian langka.
Bumi banyak memberi, jangan disakiti!
Bersama teman-temannya yang sepemikiran, Samsul tergerak melakukan perubahan melalui Green Star Nusantara (GSN) kira-kira sejak tahun 2010. Mereka melihat fakta di lapangan bahwa aktivitas penambangan migas secara masif di kawasan Bojonegoro telah berlangsung sejak tahun 2000-an. Tanpa disadari bahwa sumber air mengering dan pasokan oksigen mulai berkurang serta udara tak lagi bersih.
Berbekal kesadaran itulah GSN kemudian mengambil langkah-langkah nyata untuk mengembalikan sebagian lingkungan yang telah rusak. Tepat seperti ucapannya bahwa perubahan tidak akan terjadi bila kita hanya berpangku tangan dalam keresahan. Bertolak dari kalimat, "Ibu Bumi wes maringi, aja dilarani!" yang berarti, "Bumi telah banyak memberi, maka jangan disakiti" Samsul pun mencari solusi praktis yang bisa segera diaplikasikan.
Pilihannya jatuh pada pohon trembesi. Selama ini trembesi hanya dipandang sebagai pohon peneduh dan diambil manfaatnya dengan menggunakan kayu gelondongan sebagai bahan membuat perabot rumah tangga seperti lemari dan meja.
Menyadari eksploitasi migas secara modern yang berdampak langsung pada pemanasan global dan gas rumah kaca, GSN pun memutuskan membeli biji trembesi secara online dari Jawa Barat. Kala itu harganya cukup mahal, mencapai Rp200.000 termasuk ongkos kirimnya.
Hidupkan sumber air yang telah mati
Langkah ini ditempuh sebab ia ingin bergerak cepat agar buruknya kualitas oksigen di Bojonegoro bisa dipulihkan perlahan-lahan. Yang lebih mendesak adalah mengeringnya sejumlah sumber air akibat hilangnya pohon-pohon penyangga yang selama ini menyimpan cadangan air.
Samsul menuturkan bahwa ada dua penyebab kenapa hal itu bisa terjadi. "Ada pohon penyangga yang sudah tua sudah lapuk sehingga banyak yang tumbang. Terus ada yang dibabat oleh manusia." Sayangnya tidak ada perbaikan atau penanaman pohon kembali untuk menghidupkan sumber mata air yang telah mati.
Sumber air bisa dipulihkan berkat pohon trembesi. (Sumber: Youtube Satu Indonesia) |
Tanpa aksi konkret untuk mengatasi hal itu, panas akan semakin menjadi yang menghambat pertumbuhan aneka tanaman. Dampaknya jelas, pemenuhan kebutuhan manusia yang sangat bergantung pada alam, akan sangat terganggu.
Misi dan visi itulah yang memikat Erlin, salah satu relawan GSN yang akhirnya tertarik bergabung dan turut menggerakkan kepedulian lingkungan lewat benih trembesi. Ia memang menyukai tanaman dan merasa sedih jika melihat tanaman mati atau tak terurus.
Kemandirian suku Samin
Melihat mahalnya biji trembesi di pasaran sementara kebutuhan tinggi, GSN pun memutuskan untuk membuat pembibitan sendiri. Biji yang telah tumbuh menjadi benih kemudian ditanam kembali di tempat-tempat yang dianggap perlu atau dibagikan secara gratis kepada desa atau komunitas yang membutuhkan.
Uniknya, Samsul dan GSN tidak mengandalkan pihak lain dalam pendanaan. Selain iuran sukarela dari para anggota, kas GSN diperoleh dari penjualan jamu serbuk dari aneka rimpang produksi mereka sendiri. Semangat kemandirian memang diutamakan dalam membesarkan kembaga ini.
"Ruh yang kita pakai untuk membesarkan lembaga ini adalah mengambil spirit dari suku Samin," ujar Samsul lagi mantap.
Produksi jamu serbuk menjadi penopang keuangan Green Star Nusantara. (Sumber: Youtube Satu Indonesia) |
Suku Samin di Bojonegoro dan Blora mungkin bisa dipadankan dengan Orang Kanekes atau yang dikenal dengan Suku Baduy di Banten. Selain punya kepedulian pada lingkungan lewat sistem dan norma sosial, suku Samin terkenal sangat mandiri dan tidak bergantung. Mereka memiliki sistem, bahasa, dan nilai hidup sendiri yang layak ditiru oleh masyarakat modern.
Jika setiap komunitas pada satuan masyarakat mana pun menjunjung dan berusaha membangun jiwa kemandirian atau self-sustainability seperti yang dicontohkan GSN, maka pembangunan nasional bisa terus bergulir dan kemajuan bisa diwujudkan tanpa harus selalu menunggu peran pemerintah.
GSN membuktikan bahwa andil sekecil apa pun berdampak positif jika dikerjakan dengan serius dan memberdayakan potensi lokal seperti biji trembesi yang sudah ada di Bumi Nusantara. Lewat GSN yang ia komandoi, Samsul hendak menegaskan bahwa merawat Bumi itu mudah asal kita mau beraksi dengan memanfaatkan sumber daya yang kita miliki.
Pembenihan trembesi dilakukan GSN secara mandiri agar tidak membeli. (Sumber: Youtube Satu Indonesia) |
Jika ingin mengadopsi benih trembesi, siapa pun bisa menghubungi GSN tanpa mengajukan surat atau prosedur rumit lainnya. Yang penting adalah komitmen bersama untuk menjaga kelestarian lingkungan. Sebab Samsul percaya bahwa Green Star Nusantara bukan hanya sebuah lembaga, melainkan sebuah embrio organik yang terus bergerak menjadi sistem untuk mengajak siapa pun agar mau menanam pohon demi mengatasi pemanasan global, mengembalikan kualitas oksigen, dan terutama sumber air bersih.
Inilah janji biji trembesi, yang akan terus bercokol di Bumi Nusantara sebagai penyanggah dan penjamin agar air senantiasa lestari. Berkat kepedulian Samsul Arifin, ia pun diganjar apresiasi dari Satu Indonesia Awards sebagai sosok yang sangat menginspirasi.
KRT Samsul Arifin Wijoyosukmo ketika menerima Satu Indonesia Awards (Sumber: dok. Samsul Arifin) |