Dalam hidup kita mungkin kerap dirundung penyesalan atau bahkan kemarahan tentang hal-hal yang tak berjalan ideal. Karena tak sesuai harapan, kita pun terpuruk dalam perasaan limbung sehingga tergoda untuk menyalahkan orang alih-alih mencari sisi positif yang bisa kita syukuri sebagai anugerah.
Lihatlah Nicholas James Vujicic atau yang dikenal luas sebagai Nick Vujivic. Nick terlahir tanpa lengan dan kaki akibat sindrom Tetra-amelia yang ia derita. Namun, bukannya menyerah dan mengutuk keterbatasan fisik, ia justru memacu potensi dirinya. Dengan mengandalkan satu kaki mungil, ia bisa bermain bola, berenang, dan bahkan berselancar.
Penyandang disabilitas bisa berdaya asal punya semangat. (Foto: pexels/RUN 4 FFWPU) |
Tanpa lengan dan kaki, ia tidak minder, justru menerima hidup dengan penuh keberanian dan akhirnya bisa beraktivitas layaknya manusia normal hingga menjadi motivator dan penulis andal.
Bukan soal uang atau kesempurnaan badan
Kondisi disabilitas tidak menyurutkan langkahnya. Seperti ucapannya yang kondang, “Life isn't about having, it's about being,” Nick tak membiarkan cacat fisik memupuskan impiannya, termasuk pendidikan. Pada usia 21, ia berhasil meraih gelar dua sarjana sekaligus, yakni bidang akuntansi dan perencanaan keuangan.
Nick meyakini bahwa dalam hidup bukan uang atau kesempurnaan fisik yang membuat kita bahagia. Hidup bukan soal punya ini itu, tapi menerima diri dan tak lupa berbagi. Kita bisa memenuhi rumah dengan banyak barang yang bisa dibeli dengan uang, tapi peluang jadi sengsara tetap masih ada.
“Aku kenal orang yang punya fisik sempurna, tapi enggak bisa menikmati bahkan separuh kebahagiaan yang sudah kurasakan,” ujar Nick mantap.
Bahaya disabilitas karena kusta
Inspirasi tentang Nick ini penting dikabarkan sebab tak sedikit penyandang disabilitas yang akhirnya menyerah akibat keadaan. Butuh kekuatan batin dan keterbukaan pikiran untuk bisa menerima kenyataan dan melanjutkan hidup tanpa kekangan—terutama dari pikiran sendiri.
Muhammad Amin Rafi sudah bangkit dari keterpurukan akibat kusta. (Foto: liputan6.com) |
Hal ini terjadi pada Muhammad Amin Rafi yang akrab disapa Amin. Akibat kusta yang terlambat ditangani, ia pun menjadi penyandang disabilitas pada tangan dan kaki. Semua akibat ketidaktahuannya saat duduk di bangku SD.
Walhasil, ia akhirnya dicaci, dihina, dan dimaki selama menempuh pendidikan dasar dan menengah. Tidak berhenti di situ; di ruang publik pun ia mengalami perundungan berupa ejekan dan cemoohan menyakitkan. Begitu berat beban yang dirasakan, ia sampai ingin mengakhiri hidupnya sebab merasa terpukul hebat.
Yang paling berat mungkin karena desakan agar dia mundur dari pekerjaannya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) lantaran orang-orang di sekitarnya khawatir tertular kusta. Pengabdian selama tiga tahun di instansi terkait pun seolah tak dihargai sehingga ia merasa tak bernilai.
Tak ingin pasien kusta dan OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta) mendapatkan perlakuan serupa, Amin pun menggagas organisasi bernama PerMaTa (Perhimpunan Mandiri Kusta) sebagai wadah pendampingan, bantuan, dan dukungan bagi penderita kusta agar hidup mereka dilanjutkan tanpa menyerah. Jangan sampai cacat permanen atau disabilitas terjadi yang menghambat OYPMK kehilangan hak ekonomi dan sosial dalam masyarakat.
Kisah OYPMK yang bangkit kepercayaan dirinya
Ardi Yansyah tak ingin ada diskriminasi terhadap OYPMK. |
Dan benar, Ardi Yansyah merasakan dampak positif dari komunitas yang yang dibentuk di Bulukumba tersebut. Saat masih menderita kusta, ia mengaku mendapat perlakuan tidak mengenakkan dari lingkungan sekitar, termasuk teman-teman dekatnya. Jika dulu mereka akrab dan bercengkerama karena sama-sama aktif dalam karang taruna, kini bertemu muka dengan say hello itu sudah dirasa cukup dan itu menyiksanya.
“Seakan-akan martabat mereka (pasien kusta dan OYPMK) tidak seperti sebelumnya,” kata Ardi dalam saat menjadi narasumber dalam talk show bertajuk #SuarauntukIndonesiaBebasKusta yang diadakan di akun Youtube KBR pada Juli 2023. Ia mengkhawatirkan bahwa kondisi OYPMK bisa lebih buruk jikalau mereka termasuk kalangan miskin atau petani dengan penghasilan pas-pasan.
Berkat kiprahnya sebagai ketua Permata, keadaan pun berbalik, menjadi lebih positif tentunya. Menjadi ketua organisasi inklusif membuat kepercayaan dirinya pulih dan merasa punya makna bagi sesama OYPMK. Secara tak langsung Permata telah mengubah hidupnya sehingga perlakuan diskriminasi tak lagi ada.
Tentang Sasakawa Health Foundation
Talk show ini jadi bagian penting dari ikhtiar meningkatkan kesadaran masyarakat Indonesia tentang kusta. Selama ini kusta kerap dianggap sebagai penyakit kutukan yang memalukan sehingga pasien malu berobat dan akhirnya berdampak pada cacat permanen yang berbahaya bagi kelangsungan hidup mereka.
Diskusi yang dipandu oleh Debora Tanya berlangsung menarik dengan kehadiran perwakilan Sasakawa Health Foundation (SHF) dan NLR Indonesia. SHF adalah lembaga nirlaba non-pemerintah yang berada di Tokyo, Jepang. Aya Tobiki hadir sebagai Chief Program Officer untuk program penanganan Hansen's Disease (kusta) di bawah payung Sasakawa SHF.
Aya Tobiki menjelaskan sejarah, visi, dan peran Sasakawa Health Foundation. |
Aya menuturkan bahwa SHF didirikan tahun 1974 oleh dua orang, yakni Profesor Morizo Ishidate yang dikenal luas sebagai bapak kemoterapi untuk penyakit kusta di Jepang. Beliau juga menjadi ketua pertama organisasi ini. Pendiri berikutnya adalah Ryoichi Sasakawa, yang ditunjuk menjadi presiden pertama SHF.
SHF dibangun dengan tujuan mengeliminasi penyakit kusta dari dunia. Aya menyatakan bahwa SHF berfokus pada penanganan kusta dan promosi kesehatan masyarakat (community health) sebagai dua pilar penting. Namun community health cuma dilaksanakan di Jepang, tidak seperti pemberantasan kusta yang dilakukan di luar Negeri Matahari Terbit.
Dengan visi mewujudkan better health & dignity for all secara internasional, program penanganan kusta SHF digerakkan oleh tiga pilar utama, yaitu pemberantasan kusta, penghapusan diskriminasi terhadap penderita/OYPMK, dan perekaman sejarah/riwayat penanganan kusta sebagai acuan.
Terkesima di tiga kota
Aya bersyukur bisa datang ke Indonesia dan mengunjungi sejumlah daerah yang membuatnya terkesan. Ia pun tak segan menceritakan ketakjubannya setelah berkunjung ke tiga kota: Pasuruan, Indramayu, dan Cirebon.
Di Pasuruan ia singgah di Puskesmas Nguling dia mana ia salut dengan kolaborasi para stakeholder setempat dengan semangat kompak dalam penanganan kusta. Ia bahkan tak ragu bercerita dengan sedikit gerakan saat menyaksikan para ibu PKK yang berjoget dalam iringan irama musik kusta. Uniknya, setelah itu diadakan sosialisasi dan edukasi kusta. Baginya itu tindakan kreatif yang bisa ditiru.
Adapun di Indramayu Aya bahagia melihat dua proyek, yaitu SDR PEP dan peer counseling. Sinergi antar dinas kesehatan dari tataran provinsi hingga puskesmas dengan sistem rujukan yang rapi membuat Aya lagi-lagi terkesima.
Ia semakin terenyuh saat berkenalan dengan seorang gadis cantik di kota bahari ini. Gadis kecil ini tinggal bersama sang nenak sementara sang ibu bekerja sebagai buruh migran. Sayangnya gadis yang menderita kusta ini terpaksa terhenti pengobatannya lantaran sang nenek malu dengan penyakit itu.
Barulah ketika sang ibu pulang dari luar negeri, putrinya segera dirujuk ke puskesmas terdekat untuk mendapatkan pengobatan dan perawatan sesuai anjuran dokter sampai ia sembuh total.
Peer counseling sangat berguna bagi pasien kusta. (Dok. NLR Indonesia) |
Hal lain yang membuat Aya terkesan adalah praktik peer counselor, di mana sahabat sebaya memberikan motivasi bagi penderita kusta agar mereka bisa sembuh dengan menjalani pengobatan sampai tuntas hingga kesehatan mentalnya ikut pulih.
Terakhir di Cirebon, Aya menyaksikan proyek Mardika yang menciptakan peluang meraup cuan bagi OYPMK. Mereka berlatih dan bekerja bersama untuk menghasilkan kerajinan tangan dengan memanfaatkan bahan yang ramah lingkungan. Di satu sisi, ada peluang menangguk rezeki dan di sisi lain lingkungan lebih terjaga.
Kontribusi NLR Indonesia dalam penanganan kusta
Asken Sinaga selaku Executive Director NLR Indonesia mengamini pemaparan Aya. Ia menyatakan perlunya kolaborasi dan inklusi dengan melibatkan semua pihak karena NLR tak bisa bergerak sendirian. Dalam konteks inilah Sasakawa Health Foundation bisa menjadi mitra strategis.
Dalam penanganan kusta, NLR punya visi untuk mendukung terwujudnya Indonesia bebas kusta dan mengatasi kosekuensinya. Asken menegaskan misi NLR, yaitu mencegah, mengobati, dan mengurangi diskriminasi serta meningkatkan inklusi.
NLR Indonesia adalah lembaga nirlaba non-pemerintah yang berikhtiar mengisi kekosongan di area yang belum digarap oleh pemerintah. Dalam praktik penanganan kusta, NLR mengandalkan pendekatan tiga zero, yaitu zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas), dan zero exclusion (nihil eksklusi).
Komitmen NLR Indonesia diwujudkan dengan memberikan dukungan teknis bagi para pelaku program di Indonesia sambil terus meningkatkan kesadaran (awareness raising) lewat edukasi dan sosialisasi bagi publik mengenai seluas-luasnya lewat media konvensional maupun platform digital.
Demi memperkuat spirit kolaborasi dan inklusi, NLR Indonesia pun mengajak para pelaku program dengan membentuk jejaring. Dalam hal ini mereka senantiasa bekerja sama dengan LSM disabilitas, lembaga reasearch, dan kelompok pemuda yang punya inovasi. Tujuannya agar eliminasi kusta di Indonesia bisa tercapai lebih cepat, efisien, dan efektif.
Menuju Indonesia Bebas Kusta
Untuk mewuwjudkan Indonesia Bebas Kusta, kita tak bisa mengandalkan pemerintah sebagai satu-satunya pihak yang bertanggung jawab. Adalah peran kita semua untuk menjawab tantangan ini dengan berpartisipasi aktif melalui edukasi dan perhatian baik dalam bentuk tulisan di medsos, blog, maupun media digital lain.
Era Industri 4.0 menutut kolaborasi sebagai spirit memajukan negara dalam program apa saja, termasuk eliminasi kusta demi menciptakan generasi sehat di masa-masa mendatang. Komunitas soisial dan nirlaba harus dilibatkan lewat kolaborasi, bukan kompetisi. Saling membantu dan melengkapi dalam mengendalikan kusta.
Event online tentang penanggulangan kusta yang diselenggarakan NLR Indonesia melalui KBR harus diapresiasi dan didukung sepenuhnya. Bisa dengan mengajak pembaca untuk membaca hasil reportase acara atau dengan mengajak netizen agar ikut menonton dan menyebarkan pesan pascaacara.