Pages

Penyandang Disabilitas Bisa Mentas, OYPMK Bisa Berkarya

Perempuan muda itu tersenyum semringah saat diminta naik ke panggung yang meriah. Kemeriahan semakin memuncak ketika MC mengumumkan bahwa dia berhasil memenangkan hadiah sebesar Rp20.000.000 untuk kategori best of the best dalam sebuah kompetisi blog berskala nasional. Riuh tepuk tangan hadirin segera memenuhi ruangan tanpa dikomando, ikut larut dalam kebahagiaan yang melingkupi Molzania malam itu. 

Molzania adalah nama pena Firsty Ukhti Molyndi yang ia gunakan saat menulis di blog. Belum lama ini perempuan asal Palembang ini berhasil menorehkan prestasi gemilang di jagat blogging Tanah Air setelah menyisihkan ribuan entri yang masuk ke meja juri. Terbang dari Kota Pempek untuk hadir di Jakarta bersama kedua orangtuanya sungguh menjadi momen yang sangat berkesan, baik secara materiil maupun moril. Kondisinya sebagai seorang penyandang disabilitas tak menghalanginya untuk berprestasi dan mendapatkan kecukupan ekonomi. Beraktivitas dia tas kursi roda tak membatasinya untuk terus produktif merenda prestasi demi prestasi sebagaimana didokumentasikan di blog pribadinya.

Penyandang disabilitas juga bisa berkarya. (Foto: pexels/Marcus Aurelius

Sepenggal fragmen kehidupan Molzania menunjukkan bahwa keterbatasan fisik seseorang sama sekali bukan penghambat untuk meraih kesuksesan. Dalam kursi roda pun Molzania tetap berkarya, baik menulis di blog maupun berbagai buku antologi. Semangat belajarnya yang tinggi dan jejaring yang terus ia bangun membuatnya diganjar imbalan setimpal baik hadiah gadget ataupun uang jutaan rupiah.

Mitos atau fakta?

Saya tertarik membuka blog post kali ini dengan kisah Molzania sebab di tengah masyarakat ada semacam keyakinan atau kekhawatiran bahwa penyandang disabilitas—termasuk Orang Yang Pernah Mengalami Kusta (OYPMK)—kerap diidentikkan dengan kemiskinan. Jika pernyataan ini sering digaungkan, maka potensinya bisa sangat merusak sebab dapat menyurutkan optimisme penyandang disabilitas dengan alasan apa pun. Padahal kondisi fisik yang terbatas, seperti kasus Molzania, tetap bisa mendukung kesuksesan asalkan ada niat dan semangat untuk maju. 

Kecenderungan inilah yang mendorong NLR Indonesia untuk menggelar talkshow Ruang Publik KBR dengan dukungan KBR (Kantor Berita Radio) yang selalu setia menyuarakan isu-isu penting di Tanah Air, terutama tema-tema yang selama ini termaginalkan seperti pemberdayaan OYPMK dan inklusi penyandang disabilitas dalam masyarakat. 

NLR Indonesia adalah organisasi nonpemerintah yang didirikan di Belanda tahun 1967 khusus untuk menanggulangi kusta dan dampaknya di seluruh dunia. NLR mengadopsi pendekatan tiga zero yang meliputi zero transmission (nihil penularan), zero disability (nihil disabilitas), dan zero exclusion (nihil eksklusi).

Zero transmission berarti upaya memberantas penyakit kusta agar tidak menular ke orang lain dari penderita yang sudah terkena. Zero disability adalah upaya mendorong kegiatan penemuan kasus kusta sedini mungkin untuk mencegah terjadinya kecacatan sementara atau permanen pada penderita lewat diagnosis dan pengobatan yang tepat.

Mendiskriminasi OYPMK dan penyandang disabilitas adalah kesalahan. (Foto: pixabay.com)

Adapun zero exclusion artinya NLR Indonesia bersinergi dengan pihak terkait untuk mewujudkan inklusivitas bagi OYPMK maupun penyandang disabilitas lainnya. Jangan sampai mereka mendapatkan perilaku diskriminatif atau perundungan akibat stigma negatif mengenai OYPMK dan penyandang disabilitas yang kurang beruntung.

Lewat acara yang digelar lewat Youtube Live Rabu, 28 September 2022 lalu, NLR ingin mengikis jarak antara orang normal dan OYPMK atau penyandang disabilitas denganmemberikan kesempatan sepadan dalam mengakses layanan publik atau peluang kerja. Sebab menurut laporan Catatan Akhir Tahun Formasi Disabilitas, disebutkan bahwa:

“Dalam banyak cerita pengalaman OYPMK berinteraksi dengan orang banyak, pengabaian sering dihadapi dengan berat hati dan bagi pihak pengabai, pemisahan ruang penghidupan antara orang yang sedang mengalami atau pernah mengalami kusta dengan orang yang tidak mengalami kusta menjadi tindakan yang dinilai sudah seharusnya”.  

Jadi apakah kemiskinan akibat disabilitas dan kusta itu mitos atau fakta? Faktanya, mereka mengalami diskriminasi yang menghambat mereka mendapatkan akses pada layanan umum dan kesempatan bekerja. Inilah yang perlu dibedah agar ditemukan titik terang sehingga hal-hal yang tak tak diinginkan seperti itu tak perlu terjadi dalam masyarakat beradab masa kini, terutama bagi OYPMK dan penyandang disabilitas yang sudah cukup menderita akibat keterbatasan yang mereka alami.

Tertinggi ketiga di dunia

Keberadaan NLR Indonesia dengan slogannya “Hingga kita bebas dari kusta” masih sangat dibutuhkan sebab ternyata Indonesia masih menjadi negara dengan kasus kusta tertinggi ketiga di dunia setelah India dan Brazil. Dalam 10 tahun terakhir, penemuan kasus baru kusta di Indonesia cenderung stagnan yakni antara 16.000-18.000 orang. Sedangkan data yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan RI per 24 Januari 2022 menunjukkan bahwa jumlah kasus kusta terdaftar mencapai 13.487 kasus dengan penemuan kasus baru sebanyak 7.146 kasus. Bukankah ini angka yang mengkhawatirkan?

Yang lebih memprihatinkan, pada tahun 2021 sebanyak 6 provinsi dan 101 kabupaten/kota tercatat masih belum mencapai eliminasi kusta sesuai harapan. Data ini mengindikasikan bahwa penemuan dan penanganan kusta mengalami keterlambatan. Ditambah lagi ketidaktahuan publik tentang gejala kusta serta stigma negatif atas penyakit tersebutsebagai penyakit kutukanmembuat kesadaran memeriksakan diri akibat gejala kusta menjadi sangat rendah. Walhasil, kusta terus ditularkan tanpa disadari dan sebagian kasus disabilitas pun terjadi yang berdampak pada menurunnya produktivitas ekonomi.

Selama ini OYPMK—apalagi yang sampai jadi penyandang disabilitas—mengalami problem sosial karena dijauhi dalam pergaulan sosial sehingga kemampuan ekonomi menurun juga lantaran rasa tidak percaya diri dengan keadaan dirinya. Sungguh ini masalah yang kompleks karena berdampak secara psikologis juga. Talkshow yang diudarakan di KBR atas inisiatif NLR Indonesia adalah langkah positif untuk mendorong agar OYPMK dan penyandang disabilitas mencapai taraf hidup yang layak dengan lingkungan inklusif yang mereka impikan.

Kolaborasi dan pendekatan multidimensi

Hadir sebagai salah satu narasumber adalah Sunarman Sukamto, Amd., selaku Tenaga Ahli Kedeputian V dari Kantor Staff Presiden (KSP) yang membidangi isu HAM dan disabilitas. Pria yang akrab disapa Pak Maman itu menegaskan bahwa perlu kerja sama dan kolaborasi lintas sektor untuk menanggulangi kemiskinan akibat kusta sebab isu kusta membutuhkan pendekatan multidimensi, bukan hanya kesehatan melainkan ekonomi, sosial, dan lingkungan. 

Harus ada kesadaran untuk menyelesaikan masalah dari kementerian, lembaga, dan pemerintahan daerah. Para OYPMK dan penyandang disabilitas pun mesti terlibat sebab merekalah yang akan menjadi agen perubahan untuk memupus kemiskinan yang terlanjur diidentikkan dengan kusta.

Dalam kesempatan yang sama, Maman juga menambahkan bahwa saat ini tengah digodok peta jalan (roadmap) untuk bisa mewujudkan eradikasi atau pemusnahan total terhadap kusta, bukan sekadar eliminasi. Oleh karena itu, acara kemarin dianggap menjadi momentum yang tepat untuk kembali mengangkat isu kusta yang berdampak pada disabilitas yang selama ini terpinggirkan.

Maman menuturkan bahwa Presiden RI Joko Widodo juga telah menegaskan betapa isu disabilitas bukan lagi isu charity-based atau atas dasar belas kasihan, melainkan harus dilihat dalam paradigma HAM. Ini menunjukkan bahwa isu penyandang disabilitas memang serius, baik karena penyakit kusta atau penyebab lainnya.

Program pemerintah dukung kemandirian OYPMK

Lalu apa saja langkah pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan yang dialami mereka yang menyandang disabilitas, termasuk OYPMK? Ada sejumlah program yang digagas dan selama ini telah diimplementasikan melalui Kementerian Sosial. Pertama, bantuan berupa sembako. Sembako didistribusikan kepada para penyandang disabilitas, termasuk OYPMK, yang tergolong miskin. 

Itu syarat pertama, yakni penerima haruslah lemah secara ekonomi. Syarat kedua, nama penerima harus masuk dalam DTKS atau Data Terpadu Kesejahteraan Sosial yang dihimpun oleh Kementerian Sosial. 

Hal ini disampaikan oleh Dwi Rahayuningsih yang merupakan perencana ahli muda dari Direktorat Penanggulangan Kemiskinan dan Pemberdayaan Masyarakat, Kementerian PPN/Bappenas yang juga diundang sebagai narasumber.

Masih menurut Dwi, program berikutnya adalah bantuan Asistensi Rehabilitasi Sosial dan penyaluran alat bantu. Lalu ada program kemandirian usaha yang diperuntukkan bagi mereka yang masih menerima diskriminasi secara sosial di lingkungannya. Dengan demikian, para penyandang disabilitas dan OYPMK bisa mengakses pilihan program tersebut sesuai kondisi masing-masing.

Selain itu, Kementerian Sosial bersama dinas sosial di sejumlah wilayah dengan dukungan pemerintah daerah menyediakan shelter ekskusta yakni rumah yang bisa dihuni oleh OYPMK. Misalnya di Jawa Timur ada di Dusun Sumberglagah Desa Tanjungkenongo, Kabupaten Mojokerto. Ada juga di Desa Banyumanis, Kecamatan Donorojo, Jepara, Jawa Tengah. Lalu ada pula Kompleks Penderita Kusta Jongaya di kota Makassar yang sangat bermanfaat bagi masyarakat penderita kusta.


Rencana aksi nasional

Dwi mengakui bahwa impementasi program memang belum sempurna. Namun ia meyakinkan bahwa pemerintah lewat Bappenas saat ini tengah mengoordinasikan pelaksanaan Rencana Aksi Nasional penyandang disabilitas dengan 7 (tujuh) sasaran strategis. Salah satu sasaran strategisnya secara spesifik mengatur peningkatan pemberdayaan masyarakat, termasuk kesejahteraan penyandang disabilitas.

Lewat rencana aksi ini, diharapkan agar cakupan bantuan sosial semakin luas dan perlindungan sosial bagi penyandang disabilitas bisa semakin merata dirasakan. Dwi menegaskan bahwa pemerintah mendorong pemberian kesempatan kerja bagi OYPMK dan penyandang disabilitas di perusahaan swasta (sebanyak 1% dari total karyawan) sedangkan untuk BUMN/BUMD adalah 2%. 

Yang tak kalah penting, perusahaan swasta juga diharapkan mempergunakan dana CSR (Corporate Social Responsibility) untuk program yang memberdayakan OYPMK dan penyandang disabilitas sehingga mereka akan memiliki kepercayaan diri bahwa mereka bisa berkontribusi untuk meraih produktivitas ekonomi. Dengan demikian, lingkaran kemiskinan yang sering dilekatkan pada mereka bisa diputus berkat kesempatan kerja dan kesadaran masyarakat untuk menerima mereka sebagai manusia merdeka.

Lambat laun, ketika semua pihak bekerja sama, maka bukan mustahil para penyandang disabilitas akan bisa mentas dan OYPMK bisa berkarya tanpa merasa diteror oleh jahatnya stigma.

actioner

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram