Pages

Gerakan Pesantren Sehat (GPS), Ikhtiar Mohammad Afifi Romadhoni Menjaga Kesehatan Para Santri

“Durung sah dadi santri nek durung keno gudiken (belum sah jadi santri kalau belum pernah kena penyakit gatal kulit).” 

Demikian seloroh para warga di kampung saya ketika ada anak pondok (sebutan untuk santri) yang terkena sakit panu, kudis (skabies), atau kurap, dan penyakit menular lainnya. Mirisnya, kepercayaan itu diaminkan oleh sebagian besar para orangtua yang menyekolahkan anaknya di pondok pesantren. 

Dokter Mohammad Afifi Romadhoni, penerima Satu Indonesia Awards 2019 bidang kesehatan. (Foto: kompas.id)

Pemahaman yang sudah demikian mengakar seperti inilah yang membuat Mohammad Afifi Romadhoni, seorang dokter yang juga pernah “nyantri” berusaha untuk mengubah. Kesadaran mengenai kebersihan dan kesehatan di pondok pesantren memang masih banyak yang belum berubah, terutama di pesantren-pesantren tradisional.

Pola hidup sehat yang terabaikan 

Pengalamannya selama mondok di pesantren meninggalkan kenangan yang melekat kuat dalam diri Afif. Bagaimana tidak jika ia merasakan belajar di pesantren delapan tahun lamanya, mulai dari Madrasah Ibtidaiyah (SD) hingga Madrasah Tsanawiyah (SMP). Ketika sekolah di ibtidaiyah, ia memang  belum tinggal secara tetap di pesantren karena lokasinya masih dekat dengan rumah neneknya. Tetapi pada saat itu ia sudah sangat mengenal pola hidup di pesantren. 

Ia benar-benar merasakan tinggal di pesantren ketika mondok di Jawa Timur. Makan nasi bersama-sama dengan lauk seadanya dalam satu wadah, menjemur baju berjejer di depan kamar, handuk yang masih setengah basah disampirkan  di dalam kamar, dan tidur berdempet-dempetan dalam satu kamar bersama 11 santri lainnya di lantai tanpa alas adalah beberapa hal yang tidak bisa ia lupakan. Banyak pula para santri yang menggunakan alat-alat pribadi seperti handuk, sikat gigi, atau peralatan makan secara bergantian. 

Dengan sebab-sebab itulah, penyakit kulit atau menular lainnya menjadi sesuatu yang dilazimkan atau sudah dianggap biasa. Apalagi dengan adanya anggapan bahwa jika ingin  menjadi santri yang sesungguhnya harus pernah mengalami sakit panu atau kudis. Anggapan inilah yang membuat pola hidup kurang sehat di kalangan santri pondok pesantren, khususnya pesantren tradisional sulit untuk berubah. Kondisi itu bahkan terlihat tidak banyak berubah hingga bertahun-tahun kemudian.

Cukup dua tahun saja Afif merasakan tinggal di pesantren, lalu ia memutuskan untuk keluar karena kondisi yang kurang cocok baginya dan beban pelajaran yang ia rasa terlalu berat. Namun pengalaman selama mondok itu sangat diingatnya hingga bertahun-tahun kemudian, bahkan hingga ia lulus pendidikan formal dan menjadi seorang dokter.

Menjadi dokter yang mengedukasi kaum santri

Setelah keluar pondok, Afif yang merupakan pemuda kelahiran 13 Maret 1992 melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Negeri dan Madrasah Aliyah Negeri 1 Muara Enim, lalu ia melanjutkan ke Universitas Jambi untuk menempuh kuliah di Fakultas Kedokteran.  

Dari pesantren ke pesantren, GPS menebar edukasi tentang kebersihan dan kesehatan. (kompas.id)

Pada tahun 2010, ketika magang sebagai dokter muda di Muaro, Jambi, Afif menemukan sepuluh anak santri yang terkena penyakit cacar. Penemuan tersebut ditambah dengan pengalamannya yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren membuat Afif tergerak untuk melakukan edukasi mengenai kebersihan dan kesehatan, khususnya di lingkungan pesantren tradisional.

Prinsip bahwa “kebersihan adalah sebagian dari iman” mungkin sudah diketahui oleh sebagian besar santri di pondok pesantren. Akan tetapi, penerapan mengenai pola hidup bersih dan sehat ternyata masih belum banyak dilakukan. Hal inilah yang membuat Afif tergerak sedikit demi sedikit untuk memulai secara aktif mensosialisasikan pola hidup bersih dan sehat itu melalui proyek Duduk (Ngopi) Bareng. Afif berusaha masuk ke pesantren-pesantren dan memanfaatkan fasilitas yang telah ada serta menggugah kesadaran para santri.

Kegiatan tersebut dilakukan bertahun-tahun hingga pada bulan Mei di tahun 2017, Afif bersama teman-teman mengukuhkan sebuah Gerakan Pesantren Sehat (GPS) yang membuat program rutin untuk mengedukasi pentingnya menjaga kebersihan, mulai dari cara cuci tangan yang benar hingga menjaga kebersihan asrama. 

Pada saat itu, sebenarnya sudah ada program Pusat Kesehatan Pondok Pesantren (Puskestren) dari pemerintah yang sejalan dengan semangat GPS. Akan tetapi, aktualisasi di lapangan masih banyak yang hanya sekadar formalitas. Belum ada pengurus yang bertanggung jawab mengenai hal tersebut di pesantren secara jelas. 

Oleh karena itu, mereka mendatangi pondok-pondok pesantren untuk memberikan penyuluhan kebersihan dan kesehatan, berbagi informasi seputar Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) kepada para santri, berdiskusi dan melakukan sharing hingga membuat kegiatan Dokter Pesantren (doktren) sebagaimana dokter cilik di sekolah dasar yang menjadi agen kesehatan. 

Afif juga mendekati para ustaz untuk bersama-sama menanamkan cara hidup bersih dan sehat, termasuk saat beribadah. Afif bersyukur karena mereka bersikap terbuka dan mau menerima masukan sehingga kebiasaan para santri sedikit demi sedikit mulai bergeser menjadi lebih baik. Hal ini menambah semangat Afif dan teman-temannya dalam menjalankan kegiatannya.

Beberapa kegiatan yang dilakukan terkait program Gerakan Pesantren Sehat (GPS), antara lain Sharing Class Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), Cerita Santri (CS), kegiatan refleksi dan mentoring di mana para santri berbagi masalah dan mencari solusinya, Pesantren Tanpa Rokok (Patok), Buku untuk Santri (Book4Santri), dan pengumpulan donasi serta sumbangan buku bekas layak baca. 

Melalui GPS, para santri belajar pola hidup sehat secara menyenangkan. (Foto: liputan6.com)
 

Selain kegiatan-kegiatan itu, setiap bulan Ramadan Afif dan rekan-rekannya mengadakan kegiatan Santri Sehat Ramadan Berkah (Setara) melalui pengumpulan donasi. Kegiatan-kegiatan itu ditambah lagi dengan kegiatan yang cukup menarik bagi para santri, yaitu belajar menjadi pembawa acara, menjadi kakak yang mendengarkan para santri maupun berlatih kemampuan untuk berbicara di depan orang banyak. 

Bahkan, Afif juga memperluas cakupan kegiatan ke lingkungan Wisma Tresna Werdha dengan mengadakan kegiatan A Day with Lansia, sebuah aksi sosial dan gerakan peduli kepada orang lanjut usia (lansia). 

Sejak didirikan, anggota GPS berjumlah sekitar 73 orang dan memang masih hitungan jari. Hal itu karena GPS mempunyai program yang terbilang intensif. Mereka tidak hanya cuma datang sesekali untuk memberi penyuluhan. Mereka juga terus-menerus mengevaluasi perkembangan para santri dan mengukur perubahan secara konkret demi memastikan para santri merasakan manfaatnya secara nyata. 

Mereka memiliki jadwal untuk melakukan pembinaan di enam pesantren, yaitu Pondok Pesantren Ainul Yaqien, Pondok Pesantren Al-Jauharen, Pondok Pesantren Serambi Makkah, Pondok Pesantren As’ad, Pondok Pesantren Daarul Huffazh, dan Pondok Pesantren Kumpeh Daaru Attauhid. Sekitar 1.500 santri pada level pendidikan MI dan MTs yang telah mereka edukasi.

Afif melihat cara tersebut sejauh ini telah berhasil. Afif dan timnya telah menemukan bahwa pemahaman santri tentang PHBS meningkat setelah mengikuti kegiatan Sharing Class. Mereka memiliki penilaian, baik dalam bentuk pre-test maupun post-test. Di awal ketika mereka baru masuk pesantren, penilaian baru sampai pada skor 3, tetapi setelah kegiatan berjalan, mereka bisa mendapatkan skor 8 atau 9. 

Langkah tertatih tak membuat berhenti

Para relawan menyambut positif Gerakan Pesantren Sehat (GPS) ini dan mereka juga turut bersemangat dalam membantu menyebarkan nilai-nilai kesehatan kepada para santri muda di Jambi. Komunitas pun semakin berkembang karena banyak pemuda yang tertarik untuk ikut serta. ujar Afif. Hal ini juga membuat Afif dan tim semakin bersemangat karena ternyata mereka  mengapresiasi gerakan dengan positif sehingga mereka mau turut berkontribusi.

Akan tetapi, relawan memang masih belum stabil keberadaannya karena terkendala lokasi pesantren yang didatangi. Pada awalnya banyak yang berminat mendaftar, tetapi ketika waktu kunjungan ke pesantren jumlah relawan menjadi berkurang. Penyebabnya antara lain karena mereka adalah sebagian besar mahasiswa yang memiliki kesibukan cukup padat, uang saku mereka pun terbatas. Pesantren-pesantren yang akan mereka datangi kebanyakan lokasinya terpencil, di antaranya harus ditempuh dengan perahu, semakin menciutkan upaya karena mereka harus merogoh biayanya dari kantong sendiri.

Kesadaran tentang kebersihan pribadi dan lingkungan harus terus dibudayakan. (Foto: communityserviceFKM-UI) 

Afif menjelaskan bahwa pembiayaan GPS selama ini masih bersifat swadaya, yaitu dibantu dengan sumbangan dari berbagai donatur. Salah satu tantangannya adalah GPS ini belum dilegalkan secara hukum. Hal ini menjadi sandungan karena terkadang ada donatur yang menanyakan sisi legalitasnya. Akan tetapi, Afif berusaha memberikan transparansi dalam mengumumkan kegiatan GPS dengan memaksimalkan media sosial. 

Afif percaya bahwa masih banyak orang baik yang akan membantu gerakan ini. Afif dan tim relawan melakukan open donation dengan menyebarkan informasinya melalui WhatsApp, mencari donasi ke teman-teman, lingkungan, atau siapa pun yang ingin membantu gerakan ini. Afif merasa bersyukur karena selama ini donasi tersebut cukup untuk membiayai kegiatan mereka.

Sebagai dokter yang sudah praktik dan kini menjadi Dokter umum Program Nusantara Sehat Individu Kementerian Kesehatan, Afif sudah memikirkan regenerasi untuk lima hingga sepuluh tahun ke depan. Ia ingin ada junior yang bisa menggantikan posisinya kelak dan melanjutkan program ini demi masa depan generasi penerus bangsa yang mampu menerapkan pola hidup bersih dan sehat sehingga akan menciptakan generasi masa depan Indonesia yang kuat, baik secara jiwa dan raga.

Menyebarkan semangat ke penjuru Nusantara

Mimpi besar bisa menjadi motor penggerak semangat untuk menjadi lebih maju. Demikian pula dengan Afif yang mempunyai mimpi besar untuk Gerakan Pesantren Sehat. Ia berharap, meskipun gerakan ini dimulai dari Jambi, tetapi GPS bisa diadopsi untuk semua pesantren di seluruh penjuru Nusantara agar kualitas kesehatan semua santri meningkat. 

Perjuangan Afif yang tidak kenal lelah untuk mengedukasi pola hidup bersih dan sehat di lingkungan pesantren yang sebagian besar masih belum menerapkannya membuat ia menjadi salah satu penerima apresiasi di bidang kesehatan pada Satu Indonesia Awards 2019 yang digagas oleh Astra. Afif merasa bahwa SATU Indonesia Awards penting untuk terus diadakan karena merupakan bentuk apresiasi dari sumbangsih dan inovasi anak bangsa, termasuk di daerah sehingga mendapat perhatian dan dukungan dari pusat.

Ketika Afif menceritakan pengalamannya mendapat penghargaan Satu Indonesia Awards 2019, Afif menyatakan bahwa pada awalnya ia sama sekali tidak berniat untuk ikut mendaftar. Dua rekannya sesama pengurus GPS yang memilik inisiatif tersebut. Tanpa ekspektasi, Afif dikabarkan lolos hingga 15 besar dan diundang untuk mempresentasikan GPS di hadapan para juri di Jakarta. Ia agak kerepotan karena saat itu ia sedang menjalani masa bimbingan program Nusantara Sehat dari Kementerian Kesehatan.

Santri yang sehat menjadi bagian dari generasi sehat bagi masa depan Indonesia. (idntimes.com)

Dua hal besar bagi Afif tersebut dijalani secara berbarengan dan ia bersyukur karena mendapat keberuntungan meski dia sempat drop karena harus membagi waktu. Perjuangannya berbuah manis karena sejak memperoleh apresiasi Satu Indonesia Awards, Gerakan Pesantren Sehat semakin banyak dikenal dan meningkatkan minat relawan di Jambi.

Afif menyatakan bahwa semua harus dilakukan dengan memperbaiki niat sehingga penghargaan bukan jadi tujuan. Ketika langkah sudah dilakukan dan hasilnya memiliki manfaat bagi orang lain atau masyarakat, maka apresiasi dari mana pun itu adalah rencana Tuhan.

Dengan berhasil dan meluasnya Gerakan Pesantren Sehat (GPS), maka pola hidup bersih dan sehat akan bisa diterapkan menjadi gaya hidup para santri di pondok pesantren. Dengan demikian, santri yang sesungguhnya bukan santri yang mudah tertular penyakit, tetapi justru  santri yang memiliki kebersihan dan kesehatan yang mumpuni agar menjadi bagian dari generasi penerus yang memiliki semangat demi kemajuan dan masa depan Indonesia.

actioner

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Instagram