Muda dan optimistis, itulah La Ode Mursalim. Pemuda kelahiran Watuputih—sebuah pulau kecil di Sulawesi Tenggara—ini memanfaatkan kemampuannya sebagai programmer untuk melestarikan bahasa daerah. Dengan programming skill, ia pun menciptakan aplikasi Kamus Bahasa Tolaki berbasis Android. Ia tak ragu ketika memulai sebab ia menyimpan tujuan mulia bagi daerahnya.
|
Ciptakan bahasa Tolaki agar lestari dan dongkrak ekonomi. (Foto. dok. La Ode) |
Langkah yang ia tempuh memang layak diacungi jempol. Tak banyak anak muda yang tergerak untuk melakukan sesuatu demi daerahnya dari sisi bahasa. Selama ini yang lebih banyak digarap adalah proyek murni ekonomi dan kewirausahaan yang cepat menghasilkan keuntungan. Bukannya tak bagus, tapi penggarapan budaya dari segi bahasa juga tak kalah penting bagi masa depan bangsa dan secara tak langsung ternyata menggairahkan ekonomi warga.
Bahasa daerah terancam punah
Bayangkan jika suatu budaya hilang lantaran tak ada lagi yang merawatnya. Nah, untuk bisa merawat dibutuhkan pemahaman bahasa yang mumpuni sebab khazanah budaya—baik dalam bentuk karya sastra cetak, relief, maupun cerita-cerita lisan—dikemas dalam bahasa tertentu. Jika tak ada yang memahaminya, maka lambat laun masyarakat tak merasa kehilangan akibat gerak zaman yang serbacepat dengan berbagai kemajuan, terutama teknologi digital.
Saya jadi teringat seorang teman asal Belgia yang begitu terpesona pada kekayaan bahasa kita, yakni bahasa daerah yang beragam. Ia mengaku tak punya bahasa ibu, yakni bahasa Belgia. Dalam keseharian, ia dan keluarga bercakap dalam bahasa Belanda, Perancis, atau Jerman. Sungguh sayang jika bahasa lokal yang begitu banyak di seantero Nusantara kita abaikan kelangsungannya.
|
Bahasa Jawa jadi salah satu bahasa daerah rupanya dikagumi orang asing. (Foto: dok. pri) |
Faktanya, menurut UNESCO Indonesia memilik 718 bahasa daerah yang digunakan oleh ribuan suku (juga subsuku) dari Sabang sampai Merauke. Selain bahasa Jawa yang dikagumi oleh teman Belgia itu, masih ada bahasa Sunda, Minang, Bugis, Madura, Aceh, Banjar, Batak dan ratusan bahasa lainnya.
Namun, di balik keragaman bahasa yang unik, ternyata ada fakta lain yang memprihatinkan. CNN Indonesia pernah menurunkan berita bahwa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah menetapkan setidaknya ada 25 bahasa daerah di Indonesia yang terancam mengalami kepunahan.
Puluhan bahasa itu terancam punah salah satunya karena penuturnya semakin sedikit. Warga lokal yang memakainya rata-rata berusia 20 tahun ke atas sehingga terbilang minim. Seiring berkembangnya era digital, generasi tua konon tak lagi bercakap-cakap dalam bahasa-bahasa lokal tersebut kepada anak-anak mereka. Bahasa daerah hanya dipakai untuk berkomunikasi dengan generasi tua yang usianya sebaya.
Lalu bahasa daerah apa saja yang terancam mengalami kepunahan? Menurut data yang sama, ada bahasa Sangihe Talaud dari Sulawesi Utara, bahasa Konjo dari Sulawesi Selatan, bahasa Bajau Tungkai Satu dari Jambi, bahasa Lematang dari Sumatera Selatan, bahasa Minahasa, dan bahasa Gorontalo Dialeg Suwawa dari Gorontalo. Ini tentu saja data yang terekam sedangkan fakta di lapangan bisa mengalami perbedaan dikarenakan luasnya wilayah Indonesia baik secara etnografis maupun geografis.
Upaya pencegahan kepunahan bahasa
|
Program Belajar mendukung Revitalisasi Bahasa Daerah.(Foto: itjen kemdikbud)
|
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbudristek tak berpangku tangan melihat fenomena yang mengkhawatirkan ini. Akhirnya dirumuskanlah langkah konkret melalui kegiatan bertajuk Revitalisasi Bahasa Daerah sebagai bagian dari program Merdeka Belajar. Lewat program ini, generasi muda diajak untuk mengenal bahasa daerah, terutama bagi mereka yang masih mengenyam pendidikan SD dan SMP.
“Di sini para maestro, seniman, tokoh yang menguasai bahasa daerah, nyanyian daerah, berpidato, mendongeng, dan seni lain,” demikian penuturan Khak kepada CNN Indonesia Rabu, 29 Juni 2022.
Lebih lanjut Khak yang merupakan Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra mengatakan bahwa bahasa daerah yang dianggap rentan mengalami kepunahan lantas diajarkan kepada para guru oleh para penutur yang mumpuni. Tujuannya agar terbentuk rantai pelestarian bahasa terutama mengikat para anak didik sebagai generasi penerus masa depan Indonesia.
Membangun digital presence
Untuk mengimbangi program pemerintah, yakni revitalisasi bahasa daerah, hal lain yang juga perlu dilakukan adalah mewujudkan agar 718 bahasa daerah tersebut bisa memiliki digital presence yang biasa diakses secara online di mana pun sebagaimana KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Bukan rahasia lagi kini setiap orang memiliki gawai (gadget) di tangan. Bahkan satu orang kadang punya lebih dari satu peranti. Di sinilah perlunya memanfaatkan momentum kemajuan teknologi, yakni menghadirkan bahasa daerah yang sangat kaya itu dalam genggaman setiap orang. Ketersediaan bahasa lokal secara digital akan mendorong orang menggunakannya karena terasa mudah dan praktis. Bahkan jika memungkinkan juga dilengkapi dengan khazanah budaya setempat.
|
Anak-anak lebih tertarik pada konten digital (Foto: dok. pri) |
Dalam acara semivirtual yang digelar di Jakarta pada 12 Desember 2020, Prof. Yudho Giri Sucahyo yang menjabat ketua PANDI (Pengelola Nama Domain Internet Indonesia) mengingatkan tentang pentingnya kebudayaan yang kaya dan keragaman linguistik di Indonesia didukung dengan akses online. Alasan utamanya adalah karena anak-anak muda zaman sekarang kebanyakan digital natives. Boleh dibilang mereka ‘dilahirkan dan dibesarkan’ oleh teknologi digital.
Percik kontribusi dari Watuputih
Di tengah arus modernisasi, La Ode Mursalim asal Watuputih berikhtiar untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan bahasa daerah yang ia cintai. Kecanggihan teknologi memang bermata dua, bisa jadi ancaman juga menawarkan peluang. Dia memilih sudut pandang yang positif dengan mengembangkan Aplikasi Kamus Bahasa Tolaki berbasis Android.
Keputusan ini ia ambil sebab ia memang menggandrungi programming dan telah lama digelutinya. Ditambah kecintaannya pada Sulawesi Tenggara, maka aplikasi kamus bahasa Tolaki pun tercipta yang bisa diakses di ponsel pintar ber-OS Android. Langkah ini boleh dibilang menjawab tantangan yang disampaikan oleh Prof. Yudho Giri Sucahyo.
|
Gadis suku Tolaki dari Sulawesi Tenggara (Foto: Antara Foto/Jojon) |
Tolaki adalah bahasa yang dipakai oleh Suku Tolaki yang merupakan suku asli Kendari. Kota Kendari sangat penting sebab menjadi ibu kota Provinsi Sulawesi Tenggara. Banyak keragaman budaya dan pesona pariwisata yang menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Sebut misalnya Pulau Bokori yang eksotis.
Berdasarkan pengamatan La Ode Mursalim, tak sedikit pekerja lokal dan asing yang berkunjung ke Kendari baik dengan tujuan berwisata maupun urusan bisnis. Kunjungan mereka bisa dianggap sebagai peluang yang harus dimanfaatkan. Para pendatang tersebut adalah salah satu pihak yang membutuhkan aplikasi bahasa Tolaki di gawai sebagai penerjemah untuk memudahkan berinteraksi dengan masyarakat setempat.
Bahasa lestari dan akselerasi ekonomi
Lahirnya aplikasi ini akhirnya menjadi solusi yang menguntungkan. Di satu sisi, bahasa daerah bisa dilestarikan lewat rekaman berbentuk digital yang bisa diakses dengan mudah dan cepat. Di sisi lain, wisata lokal bisa digairahkan dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke Kota Kendari.
Hal itu berpengaruh pada terjadinya akselerasi ekonomi bagi warga setempat, misalnya dari hasil penjualan kain tenun khas Tolaki yang jadi primadona oleh-oleh di Kendari, Sultra.
|
Kain tenun khas Tolaki dari Kendari jadi primadona di pasar nasional. (Foto: telisik.id) |
Disinggung tentang awal mula pembuatan aplikasi bahasa daerah tersebut, La Ode yang lulusan Teknik Informatika dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang ini menjawab.
"Ide awal pembuatan aplikasi ini muncul ketika saya berdiskusi dengan teman-teman suku Tolaki yang menginginkan adanya aplikasi yang menerjemahkan bahasa Tolaki ke dalam bahasa indonesia."
Aplikasi mulai dirancang dan digarap sejak awal Juni 2016 dan berhasil diselesaikan pada Agustus 2016. Ia mengaku aplikasi ini bisa terwujud berkat dukungan orang-orang terdekat, salah satunya Alfino yang merupakan mahasiswa Fakultas Teknologi Industri Unissula. Dialah yang punya andil sebagai penerjemah bahasa. Mursalim juga mendapat bantuan dari masyarakat suku Tolaki di Kendari untuk menuntaskan aplikasi ciptaannya.
Aplikasi ini dikembangkan dengan dasar bahasa pemrograman Java. Ia mengklaim aplikasi buatannya adalah kamus pertama berbasis Android untuk bahasa Tolaki. Apikasi ini bisa menampilkan kata dengan cepat dengan menerjemahkan dua bahasa, yakni Indonesia dan Tolaki. Fitur Google speech juga disediakan sebagai media input yang memungkinkan suara langsung diubah menjadi teks.
|
Aplikasi kamus bahasa Tolaki untuk melestarikan bahasa Nusantara. (Dok. La Ode Mursalim) |
Saat aplikasi ini dirilis, tak sedikit teman La Ode Mursalim yang menggunakan aplikasi tersebut guna membantu merampungkan tugas akhir kuliah. Tak sedikit pula yang berkonsultasi seputar cara mengembangkan aplikasi kamus bahasa daerah tersebut.
Tantangan dan kendala
Layaknya sebuah usaha, tak mungkin sepi dari kendala. Nah, kendala terbesar yang La Ode alami dalam merancang dan mengembangkan aplikasi adalah penyusunan dan penginputan kata ke dalam database serta kendala saat mempromosikan aplikasi kepada seluruh masyarakat Tolaki.
Untungnya, kompeksitas pembuatan aplikasi masih bisa ia atasi, misalnya ada tera eror yang kemudian dikoreksi oleh teman-teman sesama programmer dan praktisi yang tergabung dalam grup forum pengembang Android. Ia menyadari pentingnya berjejaring dengan banyak kalangan, terutama yang seprofesi, karena kolaborasi bisa menyokong inovasi.
Tantangan berikutnya adalah proses penginputan data kamus. Sebagai sumber database, La Ode Mursalim menggunakan Kamus Besar Bahasa Tolaki—Indonesia yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Masalahnya, kamus tersebut boleh dibilang langka sehingga sulit ditemukan di toko-toko buku atau perpustakaan daerah.
“Akhirnya saya mencari langsung ke orang suku Tolaki yang masih menyimpan atau mengoleksi kamus tersebut.”
Tantangan lain yang tak kalah penting adalah promosi atau pengenalan aplikasi baru. Promosi pun dilakukan lewat media sosial tapi belum mendapat dukungan optimal dari pemerintah daerah setempat. Idealnya, pengenalan aplikasi dapat memanfaatkan media berbayar sehingga jangkauan promosi lebih luas dan masif.
Sambutan masyarakat Tolaki
Begitu aplikasi kamus bahasa Tolaki rampung dan diperkenalkan, masyarakat suku Tolaki di Kendari langsung menyambutnya dengan senang hati. Mereka sadar bahwa aplikasi kamus pertama yang baru saja dikerjakan La Ode Mursalim akan manjadi andil bagi kelestarian bahasa Tolaki yang mereka cintai, yang diturunkan dari generasi ke generasi sebagai kekayaan nonbendawi (intangible).
|
Anak-anak suku Buton dan Muna di Sulawesi Tenggara. (Foto: Korchnoi Pasaribu) |
Saat menyebarkan inovasinya, ia mengaku mengalami kendala administrasi dan kurangnya dukungan pemerintah setempat yang membuat aplikasi ini belum sempat dipatenkan. Meskipun baru terbilang ratusan orang yang mengunduh aplikasi tersebut, itu sudah jadi kabar baik sebab yang menginstalnya adalah masyarakat Tolaki yang tinggal di Kota Kendari, Konawe, dan Kolaka.
Kendati pengunduh aplikasi buatannya belum mencapai ribuan, dan bahkan aplikasi ini kini tak lagi ditemukan di Google Paly Store, La Ode Mursalim menyimpan optimisme kuat agar ikhtiar sederhana yang ia kerjakan tidak berhenti di sini. Ini adalah sebuah langkah awal, anggaplah ibarat percikan yang akan memantik hadirnya kontribusi dari anak-anak muda lainnya, baik di daerahnya maupun daerah lain seantero Nusantara.
Ini sesuai dengan pernyataannya. “Saya juga telah diminta oleh masyarakat Buton untuk mengembangkan aplikasi kamus bahasa Buton sehingga memperbesar peluang aplikasi ini dapat berkembang ke dalam bahasa lain.”
Seketika saya teringat pada Sunita Biddu, seorang digital business coach dan social media advisor, juga pemilik UMKM asal India. Tentang spirit perjuangan, ia mengatakan begini.
Bahwa kegagalan bukanlah saat kita kalah. Kita baru disebut gagal ketika kita menyerah. Jika ikhtiar La Ode Mursalim dianggap kekalahan lantaran belum banyak diunduh dan mendapatkan perhatian luas, maka percayalah bahwa ia sama sekali tidak gagal. Sebab toh dia telah memulai aksi positif dilandasi rasa cinta pada daerah.
Harapan ke depan
La Ode berharap bahwa aplikasi yang ia ciptakan bisa dikembangkan lagi agar bisa menerjemahkan kalimat, bukan sekadar kata. Potensi pengembangan aplikasi bahasa daerah masih terbuka lebar sebab Indonesia kaya akan bahasa lokal. Selain Tolaki, di Sulawesi Tenggara misalnya masih ada bahasa Buton, bahasa Wakatobi, bahasa Cia-Cia, dan banyak lagi lainnya.
Tak heran jika inisiatif dan kepeduliannya pada kelestarian bahasa daerah ini telah membuatnya diganjar sebagai salah satu Penerima Apresiasi Tingkat Provinsi dalam SATU Indonesia Awards 2018 untuk kategori teknologi.
|
Pesan cerita bisa sampai jika anak memahami bahasa pendongeng. (Foto: dok. pri) |
Sebagaimana namanya, SATU (Semangat Astra Terpadu Untuk) Indonesia Awards 2018 adalah apresiasi yang digagas oleh PT Astra International, Tbk untuk anak bangsa yang telah memberikan kontribusi demi terciptanya kehidupan berkelanjutan melalui bidang Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan dan Teknologi, serta satu Kategori Kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.
Merujuk pepatah Tiongkok yang sangat populer, “Perjalanan ribuan mil dimulai dari satu langkah kecil,” maka La Ode Mursalim telah memulai perjalanan dalam proses untuk melestarikan bahasa daerah dari kepunahan. Dalam semangatnya terkandung cinta pada khazanah budaya tanah air atau kearifan lokal yang bisa menjadi modal kita untuk bangkit hari ini demi menyiapkan masa depan Indonesia yang lebih cemerlang.